Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tobatnya Budak Nikotin

18 Januari 2024   12:46 Diperbarui: 18 Januari 2024   13:03 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita sampai tak bisa merayakan pergantian tahun seperti tahun-tahun sebelumnya, anak kita masih belum pulih. Apa kau tidak berkeinginan merubah gaya hidupmu sebagai resolusi tahun ini?"

***

Kami masih berpisah kamar dan entah sampai kapan akan terus berjarak seperti ini. Aku takkan memberi kelonggaran lagi sampai ia bisa merubah kebiasaan buruknya. Aku kerap mendengar penyesalan dari mulutnya tetapi sampai sekarang belum melihat ada keseriusan darinya untuk memperbaiki diri, ia masih menjadi seorang suami dan ayah yang egois. Ketika tahu anakku menderita pneumonia, sepupuku bilang, aku ini sangat berani karena sudah bertindak tegas dan kejam pada Damian, suamiku, si pecandu nikotin. Kubilang padanya, jika sudah menyangkut kesehatan apalagi itu erat kaitannya dengan nyawa, aku takkan lagi mentolerir sekalipun kesalahan terletak pada anggota keluarga sendiri. Damian tak berhenti memohon agar tetap bisa menemani Eden tidur, tetapi aku keras menolaknya, "Sudah kubilang, sebelum kau berhenti merokok, aku takkan memperbolehkan kau tidur bersama kami!" Aku hendak menutup pintu kamar, tetapi tangan Damian menahannya. "Aku sudah ganti baju, ini tidak bau asap rokok. Ayolah Eva, aku pun sedang berusaha menahan diri untuk tidak merokok," katanya dengan wajah memelas penuh penyesalan. Aku menggeleng, apa yang dikatakannya tak pernah membuahkan perubahan yang diharapkan. "Kalau kau tidak berhenti juga, sama saja kau membunuh kami secara perlahan. Eden, pneumonia karenamu, kau tidak boleh dekat-dekat dengannya." Aku menutup pintu membiarkannya tidur sendiri yang kesekian kalinya.

***

Kata Damian aku bersikap sangat berlebihan, aku tertawa sambil menatapnya lurus-lurus dan berkata, "Apakah kebiasaan merokokmu yang menyebabkan anak sendiri jatuh sakit itu tidak berlebihan?" tanyaku. Ia bungkam, padahal biasanya akan melontarkan pembelaan. Aku teramat muak, nasihat dan dukunganku yang memintanya berhenti merokok seakan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, rasanya mulutku sudah berbusa saking seringnya memperingatkan Damian.

Dulu sebelum menikah ia tak pernah menyentuh tembakau, tapi enam bulan setelah kami menikah tanpa diduga ia mulai akrab dengan nikotin yang kuketahui dipengaruhi oleh rekan-rekan di tempat kerja barunya. Aku selalu marah dan jijik ketika harus membersihkan asbak yang selalu penuh. Anak kami, Eden, berusia dua tahun didiagnosis pneumonia setelah lebih dari seminggu mengalami demam, batuk dan sesak napas. Yang membuatku sangat sedih sekaligus marah penyebabnya adalah paparan asap rokok. Saat itulah seluruh kesabaranku runtuh, sebelum memutuskan untuk berpisah kamar aku sempat menangis meminta Damian berhenti merokok dan memikirkan lebih serius lagi dampak kesehatan bagi anak, istri, juga dirinya sendiri. Tak habis pikir awalnya suamiku masih sempat membela diri, "Padahal jika di rumah, selalu merokok di ruangan berbeda dengan Eden. Sengaja menjauh. Ternyata masih bisa kena juga?" Aku memejamkan mata sejenak, mengatupkan rahang rapat-rapat, kesal. Otakku serasa mendidih mendengar perkataannya yang kelewat polos. Damian tidak ikut mengantar Eden berobat dikarenakan sibuk bekerja, jadi ia belum tahu apa yang dijelaskan oleh dokter. Maka aku pun memberitahunya bahwa asap rokok yang mengandung zat berbahaya itu dapat bertahan kurang lebih empat jam di udara, jika merokok di dalam ruangan residunya menempel pada banyak benda di rumah seperti baju, karpet dan lainnya. Meskipun pintu tertutup, partikel asap yang lebih kecil tetap akan mudah menyebar ke ruangan lain. Aku berhenti bicara untuk menghela napas, rasanya bosan harus selalu mengedukasinya seperti ini. Damian mengangguk-angguk, bermimik seolah benar-benar menyesal.

"Rasa-rasanya tidak ada tempat aman dan steril selama orang serumah ada yang perokok. Jika kau tidak berhenti, aku dan Eden akan terpapar asap rokokmu, selamanya. Apa kau tidak mendambakan pertumbuhan dan perkembangan Eden yang sehat? Sekarang buktinya kau membuatnya sakit, jangan sampai keegoisanmu semakin memperburuk kondisi paru-paru, Eden. Stop polluting us!" pungkasku yang membuat Damian tak mampu melontarkan sepatah kata pun.

***

Sudah tiga hari ini aku nyaris tak menemukan puntung rokok di asbak Damian. Aku rutin membersihkan ruangannya setiap kali ia mandi, bau tembakau yang selalu membuat engap pun tak kentara lagi. Semua tempat sampah yang ada di dalam hingga luar sudah kuperiksa tetapi tak ada jejak puntung rokok yang bisa saja dibuangnya diam-diam. Sementara kakiku berjalan kembali masuk ke ruangan Damian, dadaku yang tetap dirong-rong kekesalan menjadi sedikit merasa ringan, apakah suamiku sudah berhenti merokok? Sulit dipercaya, memangnya ada yang secepat itu? Namun, kalau ini bentuk usahanya mengurangi rokok karena serius ingin tobat, aku harus mengapresiasinya. Sembari menunggu Damian selesai mandi, aku merapikan baju dan jaket yang tergeletak di sembarang tempat. Ketika tak sengaja membalikkan jaketnya, ada sesuatu jatuh dari salah satu saku dan mendarat di sofa. Aku mengerutkan kening ketika memandangi beda itu. "Apa ini?" Aku dibuat penasaran dengan benda tersebut, bentuknya seperti pulpen tetapi ukurannya lebih lebar, ada tombolnya dan ujung bagian atas terdapat seperti alat penghisap. Aku melirik ke pintu kamar mandi, sepertinya Damian sebentar lagi selesai, maka dari itu aku buru-buru menyelesaikan pekerjaan yang tersisa.

***

Sejam selepas mandi, diam-diam kuperhatikan gelagat Damian tampak begitu gelisah. Ia terus-menerus mencari sesuatu, namun apa yang dicarinya tak kunjung ditemukan. Aku berani bertaruh ia tidak akan bertanya padaku meskipun sangat ingin menanyakannya. Dengan jaketnya yang sudah rapi, bukan hal sulit menebak siapa yang mengambil benda itu. Ya, aku yakin sekali ia tahu, untuk beberapa saat kubiarkan ia uring-uringan sendiri sebelum akhirnya menemuinya saat dirinya berada di dapur.

"Ada yang hilang, kah?" tanyaku saat ia sedang menyeduh kopi.

Damian berhenti mengaduk kopinya dan menatapku dengan sorot mata terkejut. Ia kelihatan bingung, kecemasannya semakin nampak saja.

"Bukan sesuatu yang penting, kok," jawabnya setelah beberapa detik terdiam. Ekspresi gelisah terlihat jelas di wajah tampannya.

"Ini yang kau cari?!" 

Benda yang dicarinya ada di genggamanku dan kuperlihatkan padanya dekat-dekat. Damian menelan ludah dan otomatis memucat seolah darahnya tengah diisap lintah raksasa. 

"Rokok elektrik," tuturku menekan.

Sekarang mataku mungkin sudah sangat merah seperti vampir, dadaku rasanya akan meledak menahan kesal yang kian memuncak. Padahal tadi sempat merasa lega tapi beberapa menit setelahnya kembali dibuat murka.

Rupanya selama tiga hari terakhir ini, Damian berhenti merokok konvensional dan mulai mengisap rokok elektrik. Sungguh sangat keliru jika beranggapan rokok elektrik lebih aman dibanding tembakau. Namanya juga masih sama menghisap nikotin, tentu tidak ada yang lebih baik untuk kesehatan, karena bagaimanapun bentuknya sama-sama berbahaya dan merugikan. 

Dadaku kembang kempis menahan gejolak amarah supaya tak sampai menumpahkannya. Sebagai istri bolehkah aku menyerah menasihati suami? Aku sudah lelah.

"Maaf, Eva," lirih Damian, ia tahu aku marah besar.

Aku diam, lalu menyerahkan rokok elektrik ke tangannya. Sebelum pergi kusempatkan bicara, "kau benar-benar tidak menyayangiku bahkan dirimu sendiri, ya. Tapi aku mohon setidaknya sayangilah Eden, anakmu. Kau ingin seumur-umur tetap berjarak dengannya? Kalau iya, silakan lanjutkan merokoknya." 

***

Dua hari setelahnya aku sudah tak lagi bertegur sama dengan Damian. Namun, tetap menyiapkan segala sesuatunya, seperti membuatkannya sarapan, makan malam juga merapikan tempat tidurnya. Di hari ketiga tepatnya pukul setengah delapan malam, selepas aku menidurkan Eden, Damian tiba-tiba memanggilku dan membicarakan sesuatu yang serius. Damian ingin berhenti merokok dan ia sudah berkonsultasi dengan dokter. Ia mengutarakan penyesalannya dan memintaku agar selalu memberikan support selama Ia berjuang melawan adiksi nikotin. Awalnya aku menolak mempercayainya, akan tetapi ia berbicara kelewat sungguh-sungguh sehingga aku tak mampu menemukan ketidakseriusan lagi di matanya.

"Seperti yang pernah kau singgung. Tahun ini resolusiku ingin sehat seperti dulu yang hidup tanpa diperbudak nikotin, " lirihnya.

Dua minggu pertama tanpa rokok Damian sangat kesusahan menahan diri utamanya ketika berada di lingkungan tempat kerjanya. Tips-tips yang dianjurkan dokter seperti menunda-nunda waktu ketika keinginan merokok menggebu-gebu, mengemut permen hingga berolahraga semuanya dilakukan Damian dengan penuh tekad. Aku lebih ikhlas jika uang suamiku dihabiskan untuk pergi ke gym daripada habis membeli rokok. Berolahraga bentuk investasi yang menjanjikan kesehatan jangka panjang sedangkan rokok investasi penyakit yang akan merugikan hari-hari di masa depan. Setelan sebulan kehidupan kami tanpa rokok, kumenemukan sosok Damian beberapa tahun lalu yang berseri, sehat, bugar dan bersih. Keadaan anak kami, Eden, sama membaiknya seperti keharmonisan keluarga kecil ini.

Rinrin 

Seorang biasa yang menyukai menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun