Sejam selepas mandi, diam-diam kuperhatikan gelagat Damian tampak begitu gelisah. Ia terus-menerus mencari sesuatu, namun apa yang dicarinya tak kunjung ditemukan. Aku berani bertaruh ia tidak akan bertanya padaku meskipun sangat ingin menanyakannya. Dengan jaketnya yang sudah rapi, bukan hal sulit menebak siapa yang mengambil benda itu. Ya, aku yakin sekali ia tahu, untuk beberapa saat kubiarkan ia uring-uringan sendiri sebelum akhirnya menemuinya saat dirinya berada di dapur.
"Ada yang hilang, kah?" tanyaku saat ia sedang menyeduh kopi.
Damian berhenti mengaduk kopinya dan menatapku dengan sorot mata terkejut. Ia kelihatan bingung, kecemasannya semakin nampak saja.
"Bukan sesuatu yang penting, kok," jawabnya setelah beberapa detik terdiam. Ekspresi gelisah terlihat jelas di wajah tampannya.
"Ini yang kau cari?!"
Benda yang dicarinya ada di genggamanku dan kuperlihatkan padanya dekat-dekat. Damian menelan ludah dan otomatis memucat seolah darahnya tengah diisap lintah raksasa.
"Rokok elektrik," tuturku menekan.
Sekarang mataku mungkin sudah sangat merah seperti vampir, dadaku rasanya akan meledak menahan kesal yang kian memuncak. Padahal tadi sempat merasa lega tapi beberapa menit setelahnya kembali dibuat murka.
Rupanya selama tiga hari terakhir ini, Damian berhenti merokok konvensional dan mulai mengisap rokok elektrik. Sungguh sangat keliru jika beranggapan rokok elektrik lebih aman dibanding tembakau. Namanya juga masih sama menghisap nikotin, tentu tidak ada yang lebih baik untuk kesehatan, karena bagaimanapun bentuknya sama-sama berbahaya dan merugikan.
Dadaku kembang kempis menahan gejolak amarah supaya tak sampai menumpahkannya. Sebagai istri bolehkah aku menyerah menasihati suami? Aku sudah lelah.
"Maaf, Eva," lirih Damian, ia tahu aku marah besar.