Rintihan perempuan yang seolah datang dari kegelapan nan jauh lagi-lagi membuat Irma langsung terjaga. Ia otomatis menatap langit-langit triplek yang cemong oleh bekas rembesan hujan yang bocor membentuk semacam gambar awan. Semuanya terlihat begitu jelas, karena lampu pijar lima watt di atasnya tidak dimatikan. Kepalanya berdenyut mendadak pusing, Irma tak begitu mengingat sejak kapan tepatnya, barangkali dari sebulan yang lalu atau lebih lama dari itu, kerap terbangun oleh rintihan misterius. Ia mengernyit bingung, suara-suara itu bagai mimpi tapi terdengar sangat nyata. Apa ini semacam gangguan tidur, karena terlalu lelah bekerja di siang hari? Lebih dari sebulan ini ia selalu lembur untuk menambah-nambah penghasilan demi menyokong kebutuhan di perantauan dan keluarga di kampung. Nyaris setiap lewat tengah malam ia selalu mendengar keanehan itu, lama-lama ia pun dibuat merinding.
Tiap kali terbangun selalu antara pukul 01.00-02.00 yang di mana orang-orang tengah di fase pulas-pulasnya. Ia sering beranjak dari kasur tipis tanpa dipan di kamar sempitnya hanya untuk mengintip jendela di dekat pintu masuk, tetapi suasana sekitar selalu sama, tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dan semuanya berlalu begitu saja. Karena barangkali itu memang gangguan tidur, ia pun memilih tak begitu memusingkannya karena khawatir bisa membuatnya merasa tak betah. Bahkan jika siang hari tiba, ingatan tentang itu seakan tidak berjejak karena teralihkan oleh pekerjaan.
Setelah selesai bekerja lalu pulang dan beristirahat, esoknya bekerja lagi, pulang dan seterusnya seperti itu. Ia sampai berpikir jika seandainya terjadi sesuatu di lingkungan tempat tinggalnya, barangkali ia akan jadi orang terakhir yang menyadarinya, sebab sempitnya waktu walaupun sekadar untuk bersosialisasi. Hidupnya seolah diprogram antara tombol on dan off, putih dan hitam nyaris tanpa warna lain yang normalnya anak muda rasakan. Irma harus banting tulang yang mana ia adalah anak sulung di keluarganya. Irma tak banyak mengeluh soal tanggung jawab, ia sadar dengan keadaan dan ini jalan satu-satunya untuk berbakti pada orangtua. Namun, terkadang ia juga ingin seperti gadis-gadis seumurannya, kuliah, bergaul, punya banyak relasi dan pengalaman. Tak jauh-jauh pelarian nasib yang diidam-idamkannya adalah Leona. Ia sangat cantik, kaya dan berpendidikan. Barangkali jika dirinya terlahir dengan keadaan finansial lebih beruntung, di umurnya sekarang pastilah tengah sibuk mengenyam pendidikan di bangku universitas, mengejar impiannya menjadi seorang guru.
Pernah suatu hari keinginan menjadi seperti Leona sekonyong-konyong menggebu-gebu saat mendapati Leona dijemput oleh kekasih Chinese-nya naik ke mobil mewah. Di dekat pangkalan ojek yang tak begitu jauh dari mulut gang, Irma membatin jangankan mempunyai pacar, kenal dekat dengan lelaki pun tidak, rekan kerja di pabrik rata-rata ibu rumah tangga. Ia juga merasa insecure, apa ada lelaki di luar sana yang mau dengannya? Pertanyaan itu selalu muncul ketika melihat sejoli di mana pun itu.
Namun, karena hidup di perkotaan tidak hanya tentang si kaya atau si cantik, alih-alih selalu merasa iri dan tak puas diri, ia juga sering tertampar ketika melihat orang dengan nasib yang tidak seberuntung dirinya. Irma bisa menangis dalam diam dan memberi sedikit uang jika kebetulan melihat anak-anak pemulung yang tak bersekolah atau pedagang kecil, seperti tukang cobek yang kembali ia lihat lagi.
"Kang Iwan, tukang cobek yang waktu aku beli, ternyata masih jualan di sini, ya?" kata Irma saat menunggu bandros pesanannya matang.
"Oh yang waktu itu? Iya, sepertinya emang berjualan di sekitar sini saja. Dia orang baru, mungkin sekitar dua mingguan keliling di sekitar sini. Tuh! Saya juga beli satu." Iwan menoleh, menuding cobek batu ukuran sedang di salah satu sudut di belakang gerobak. "Saya kasihan, jadi beli deh," katanya sembari membuka tutup citakan dengan bandros mekar di dalamnya.
Irma sendiri belum menggunakan cobek jumbonya, seblak Rafael yang tengah viral itu hanya jawaban asal-asalan agar si penjual cobek tidak tersinggung kalau sebenarnya ia membeli atas rasa kasihan. "Kalau nanti aku pindah dari sini saat kontrak kerja sudah habis. Cobek ini bakal kukasih tetangga sajalah," gumamnya setelah ia sampai kontrakan dan tak sengaja melihat cobek itu di antara gelas dan piring yang belum sempat dicuci.
****
Tak biasanya kepala Irma terasa berat dan sakit, seolah ada benda berbobot besar menampol kepalanya keras-keras. Sore ini seharusnya lembur tetapi ternyata ia tak bisa memaksakan diri. Sepanjang perjalanan pulang selain merasakan sakit, kepalanya juga berpikir keras prihal uang gajiannya yang baru beberapa hari saja sudah habis. Bayar kontrakan, kasbon, dikirim ke kampung, buat bekal dan sedikit ditabung. Namun, tabungannya yang tak seberapa itu selalu tak bertahan lama karena tak jarang keluarganya masih membutuhkan uang sebelum ia kembali gajian. Beban pikirannya kian membuat kepalanya sakit dan runyam. Ia berjalan agak gontai ingin cepat-cepat sampai agar bisa istirahat.
Namun, langkahnya yang baru sejengkal masuk gang harus terhenti, "Kenapa banyak orang di sini?" katanya heran. Beberapa meter di depannya orang-orang memadati sepanjang jalan selebar satu meter itu. Mereka berbisik-bisik menghalangi siapa pun yang ingin lewat. Kepala Irma seakan kehilangan sakitnya dan mulai direcoki rasa penasaran. Apa yang terjadi? Kenapa banyak orang? Apakah ada orang yang meninggal? Siapa? Dadanya mendadak riuh, bergejolak. Khawatir hal buruk terjadi di sekitar tempatnya tinggal. Sebelum sempat bertanya pada seseorang, orang yang memadati jalanan gang berbalik arah dan sebuah suara lantang menyuruh semua orang minggir dan mundur. Irma seolah terhipnotis, diam. Sampai akhirnya terpaksa mundur ketika ada orang yang menabraknya. Orang-orang tadi bubar dari gang, warga di sekitar sana kian banyak. Irma tertegun ketika iring-iringan manusia yang diberinya jalan melewatinya di antara kerumunan orang. Irma melongo otomatis menelan ludah. "Leona?" lirihnya. Gadis yang selalu membuatnya iri itu kenapa diborgol dan digiring sekelompok pria berbadan tegap menuju mobil hitam? Leona tertunduk dengan wajah bermasker. Pesonanya seakan hilang entah kemana, dosa apa yang dibuatnya sampai diperlakukan seperti kriminal? Pertanyaan-pertanyaan itu menguap seketika di kala pemilik kontrakan memberitahunya.