Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daging Ayam untuk Perayaan

11 November 2023   15:08 Diperbarui: 11 November 2023   15:48 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi daging ayam (blackberrybabe.com)

Tengah hari saat matahari menyemburkan teriknya yang sangat menyengat, Ratmini yang bermandikan peluh baru saja sampai di pekarangan rumah kecilnya yang cukup rimbun oleh pohon salam dan sukun di sisi kiri dan kanan. Pipi tirusnya merah masak dan napasnya agak tersengal-sengal. Angin sejuk yang menerpa tubuhnya sedikit mengenyahkan kegerahan, juga rasa lelah sehabis menggarap sawah seakan luruh ketika pandangannya bertemu dengan empat pasang netra bulat nan berbinar-binar milik kedua anaknya, Ipah dan Ogi. Mereka menyambut emaknya di ambang pintu dengan mengumbar senyum semringah nan polos khas anak-anak.

"Ternyata benar, Emak pulang di siang bolong, ya," seru Ogi yang tampak sudah menunggu.

Ratmini tersenyum, ia pun lekas beranjak mendekati pintu, menggiring kedua anaknya agar masuk ke dalam. Ya, hari ini ia pulang lebih cepat karena biasanya selalu pulang sekitar pukul tiga sore dan kedua anaknya akan menyusul setelah pulang sekolah dan setelah Ratmini selesai bekerja mereka pulang bersama-sama.

"Ini buat ditumis, Mak?" tanya Ipah sambil menunjuk isi keranjang bambu yang berisikan dua buah pepaya muda berukuran kecil dan beberapa buah kunyit yang dibekal dari sawah.

Ratmini mengiyakan dan menyuruh si sulung agar menyimpannya ke dapur. Ogi yang tetap berada di sampingnya tiba-tiba menarik pergelangan tangan dan bertanya, "Benar 'kan, Mak. Emak bakal beli daging ayam?"

"Iya. Nanti sehabis mandi Emak ke konter Zam, siap tahu bapakmu sudah mengirim uang buat beli dagingnya."

Ogi girang bukan main, ia meloncat ke sana-sini kesenangan, Ipah yang mendengar dari dapur pun ikut berbahagia. Mereka berjingkrak-jingkrak dibarengi tawa riang, Ratmini amat trenyuh melihatnya. Karena bagi keluarga kecilnya daging ayam adalah lauk yang mewah hingga sulit untuk dibeli dikarenakan harganya yang mahal. Hampir setiap hari mereka makan berteman lauk berupa daun singkong dan bayam yang diambil dari sepetak kebon di belakang rumah atau genjer dari sawah. Alasan Ratmini berniat membeli daging, karena ingin memberi dua anaknya sesekali makan enak terlebih hari ini adalah ulang tahun mereka. Ipah dan Ogi bukanlah anak kembar, tetapi mereka lahir di tanggal dan bulan yang sama. Umur mereka terpaut dua tahun, Ipah menginjak usia sepuluh tahun dan Ogi, delapan tahun. Itulah alasan Ratmini pulang lebih awal karena ingin masak kecil-kecilan untuk sebuah perayaan sederhana yang sebelumnya tak pernah ada di kamus kehidupan keluarganya yang serba kekurangan.

***

Ratmini berjalan amat lemas sepulang dari konter Zam, perasaan bahagia yang sempat membuncah mendadak padam bagaikan kobaran api yang mati oleh air dalam sekali siram. Suaminya, Ajo, yang bekerja jadi buruh bangunan di kota ternyata belum mengiriminya uang. Ratmini gelisah, takut kalau-kalau Ajo telat bayaran. Mana kemarin Ratmini sudah terlanjur janji pada dua anaknya akan membeli daging dengan uang kiriman suaminya. Keterlambatan seperti ini jauh dari perkiraan Ratmini karena Ajo sudah biasa mengirim uang seminggu sekali di akhir pekan. Tidak ingin sampai patah arang karena belum adanya uang, sambil menunggu transferan ia berniat lebih dulu memasak nasi kuning dan menumis pepaya. Ratmini masuk rumah dengan melewati pintu belakang untuk menghindari anak-anak yang sudah pasti akan bertanya soal daging ayam. Ia hanya tak tega melihat reaksi mereka jika mengetahui ia belum membelinya. Ah, tapi usahanya gagal, anak-anaknya menyadari kedatangan Ratmini karena mereka sedari tadi sudah sangat menanti-nanti. Ratmini menelan ludah gusar, bagaimana ini? Wajah anak-anak yang tadinya berseri-seri mendadak kehilangan cahayanya. Kening mereka otomatis berkerut mengetahui tangan emaknya tanpa jinjingan.

"Dagingnya mana, Mak?" tanya Ogi.

Hati emaknya sesak tapi ia paksaan tersenyum. "Bapak kalian belum mengirimkan uang," katanya. "Sambil menunggu uangnya ada. Ipah, tolong ajak adikmu main! Biar Emak masak nasi dan tumis dulu."

Meski kekecewaan nampak di wajah mereka, tetapi Ipah cepat menuruti emaknya yang langsung menarik tangan Ogi pergi dari dapur. Ratmini menghela napas berat. "Sabar-sabar," katanya menguatkan diri. Baru beberapa menit anak-anaknya keluar, ada seseorang datang menemuinya ke dapur.

"Ada apa, Mbak Sum?" tanya Ratmini pada kakak iparnya.

"Ajo sudah kirim uang, belum?"

"Belum." Ratmini menunduk menghindari tatapan Sum yang selalu tak mengenakan.

"Kukira Zam bohong. Kalau sudah, aku pinjam!"

"Tapi Mbak, aku juga butuh. Aku sudah nggak punya uang karena tadi dibelikan pupuk buat padi."

Sum tidak merespon, ia malah melengos dengan perasaan masa bodoh, memang begitulah sikapnya pada Ratmini. Ibu dua anak itu semakin dibuat mumet, kebiasaan Sum meminjam uang menambah beban kemelaratan hidup keluarganya. Apalagi dua bulan terakhir sejak Ajo bekerja di kota, ia semakin getol meminjam dengan dalih untuk membayar utang pada rentenir. Lagi dan lagi ia menghela napas berat mencoba membuang kesesakan di dadanya. 

Ia cepat mengalihkan pikiran dengan memulai memasak nasi dan beras yang hendak dicuci adalah seliter beras terakhir dari hasil panen sawah sepetaknya yang merupakan satu-satunya warisan dari orangtuanya. Sum kerap memaksa agar Ratmini menjualnya, tapi karena itu pemberian orangtua Ratmini sendiri, jadi Sum tak punya banyak kuasa atas sawah itu. Panen sudah dua bulan berlalu, sedangkan padi yang ditanam baru saja dipupuk. Penanamannya harus terjeda beberapa minggu dikarenakan uang kiriman Ajo yang dicadangkan untuk pupuk selalu dipinjam Sum.

Beban hidupnya tak berkesudahan, cobaannya seolah jalanan yang tak berujung. Meski selalu dibelit kesulitan ia tetap ingin melakukan yang terbaik untuk anak-anak seperti halnya kali ini, ia memasak seenak mungkin bermodal bumbu seadanya yang ada di dapur untuk membahagiakan Ipah dan Ogi di hari spesial mereka. Setelah kurang lebih sejam, nasi kuning dan tumis pepaya sebagai pengganti kentang sudah matang. Aroma sedap kedua hidangan itu menguar mengisi ruangan berdinding anyaman bambu yang sempit. Ada seulas senyum di bibir Ratmini mengartikan kepuasan, tapi ia mendadak ingat dengan Ajo, barangkali suaminya sudah mengirim uang, ia pun pergi ke konter lagi.

***

Ratmini kembali ke rumah sejam kemudian, ia datang dengan sangat kelelahan, butir-butir peluh bersarang di pelipisnya. Selama satu jam di luar, sebagian ia habiskan mencari-cari Sum yang ternyata sudah mendahuluinya mengambil uang kiriman Ajo dari Zam. Sangat marah dan tak terima, Ratmini meminta uang nafkah dari Ajo dikembalikan. Memang Sum mengembalikannya tetapi hanya setengahnya yang tentu takkan cukup untuk biaya hidup seminggu.

Namun, karena tak ingin mengecewakan anak-anak, tanpa berpikir bagaimana dan makan apa hari esok-lusa ia bergegas pergi ke warung nasi yang jaraknya cukup jauh dan kini ia telah kembali tak sabar menemui kedua anaknya.

"Ipah, Ogi?"

Tak ada yang menyahut. Rumah sangat lengang, Ratmini melesat ke dapur di sana ia melihat anak-anak tidur meringkuk di atas bale-bale bambu dekat tudung saji. Hatinya memelas, tangisnya pecah tak terbendung. Mereka pasti sudah sangat lapar dan bosan menunggu sampai ketiduran. Ratmini mengusap pipi basahnya, ia mendekati mereka lalu membuka tudung saji, nasi kuning dan tumis pepaya yang sudah mendingin itu belum disentuh sama sekali. Aroma daging ayam yang dibawanya seakan menembus alam mimpi dan membangunkan mereka. Ratmini menuggu kesadaran mereka terkumpul, sebelum makan ia menyuruh keduanya mencuci tangan dan muka.

"Dua paha ayam goreng. Satu untuk Ipah dan satu untuk Ogi."

"Lho buat Emak, mana?" tanya Ipah.

"Emak, nggak suka daging."

Ratmini berkata seperti itu hanya tak ingin sampai mereka membagi daging untuknya. Biar mereka saja yang makan, toh yang berulang tahun kan mereka. Lagipula untuk seorang ibu, anak adalah yang utama. Walaupun tanpa kue, lilin dan kado, mereka sangat bahagia makan berlauk daging yang bagi mereka sangatlah langka. Meski dengan susah payah, perayaan sederhana terlaksana juga.

Nak, semoga kelak kalian bernasib lebih mujur dari Emak dan Bapak. Batin Ratmini bermonolog.

Rinrin

Seorang biasa yang menyukai menulis.

#cerpenulangtahun

#pulpen

#sayembarapulpen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun