Aksi adaptasi perubahan iklim membutuhkan beragam instrument operasional. Kebutuhan instrument teknis dan operasional agar adaptasi mampu menjawab secara relatif kerentanan, risiko dan dampak perubahan iklim, sekaligus mengukur ketangguhan atau menilai capaian dari intervensi adaptasi merupakan peran yang seharusnya menjadi peran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui kerjasama dengan institusi teknis lainnya seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimat dan Geofisika (BMKG). Â
Makna jelas juga mencakup siapa yang memiliki kapasitas membuat keputusan dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Sehingga tidak ada alasan tiap sektor untuk membuat program yang kontradiktif dengan semangat pengendalian perubahan iklim. Sebaliknya ketidakjelasan hanya akan menjadi potensi hambatan operasional di lapangan.
Peran memfasilitasi inisiatif daerah untuk memasukkan perubahan iklim ke dalam kebijakan lokal mereka menjadi strategis pula dilakukan. Adanya urgensi kebutuhan menjadi salah satu keinginan kuat daerah. Kharakteristik  geografi,demografi dan  topografi masing-masing wilayah menjadi alasan adanya pendekatan yang berbeda. Dampak perubahan iklim yang harus segera direspon sektor yang terpapar membutuhkan keputusan yang cepat. Proses perumusan program dan strategi implementasi membutuhkan waktu. Rantai birokrasi yang  singkat menjadi syarat meredam atau mengurangi dampak perubahan iklim kepada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.
Dalam konteks implementasi aksi pada tingkat Kabupaten, kota atau tingkat yang lebih kecil, yaitu tapak; seperti desa dibutuhkan intervensi dan arahan secara tegas dan jelas dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa (Kemendes).Â
Kepatuhan terhadap regulasi dan instruksi yang mampu mempercepat penerimaan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana program dan kegiatan mereka, semata agar tindakan yang mereka tempuh tidak dinilai salah.Â
Pada bingkai itu, Kemendagri telah menerbitkan ketentuan perihal kewajiban untuk mempertimbangkan bencana (termasuk bencana yang diakibatkan faktor iklim atau hidrometeorologi) ke dalam perencanaan pembangunan. Kemendagri pun berkepentingan dalam menjembatani daerah dengan program K/L.
Demikian halnya Kemendes, yang menekankan kepada ekonomi dan pengurangan kemiskinan sebagai prioriotas dalam program desa. Alih-alih membangun infrastruktur, apabila tidak dikaitkan dengan potensi dampak dan risiko bencana akibat perubahan iklim justru akan menyebabkan pengeluaran anggaran menjadi sangat mahal karena infrastruktur tersebut memiliki umur yang pendek akibat tergerus bencana.
***
Dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah sangat dimungkinkan daerah membuat lembaga yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikan program perubahan iklim, selain tentunya memaksimalkan Badan Perencanaan Pembangunan  Daerah (Bappeda). Oleh sebab itu sangat dimungkinkan tiap lembaga tersebut berbeda antar daerah dalam menterjemahkan tugas dan perannya.Â
Menghadapi kecenderungan ini nantinya, peran Kemendagri menjalankan fungsi pendampingan kepada wilayah atau daerah mutlak dilakukan untuk mengisi kekosongan faktor sumber daya manusia, teknologi dan menjaga harmonisasi kebijakan  antar sektor baik secara vertikal maupun horisontal.
Melalui pendekatan wilayah atau daerah, peluang lebih dekat untuk mengetahui iklim mikro lebih mudah untuk dilakukan dan validitas kebijakan yang dirumuskan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena didasari oleh data proyeksi iklim mikro di wilayah atau daerah tersebut. Sehingga upaya mitigasi dan adaptasi lebih merupakan tindakan proaktif dari kecenderungan yang akan terjadi.