Pokir (Pokok Pikiran) itu usulan yang diajukan anggota dewan (DPRD) terkait program dan kegiatan yang dianggap penting untuk dimasukkan dalam rencana kerja pemerintah daerah.
Mekanismenya bagaimana? Anggota DPRD mengidentifikasi kebutuhan, mendengarkan aspirasi masyarakat dan identifikasi kebutuhan yang dianggap prioritas. Yang mereka dengar tentu saja pendukung kepentingannya dulu. Terus usulan ini diajukan dalam forum Musrenbang dan dimasukkan dalam dokumen perencanaan daerah. Pokir kemudian dibahas dalam rapat-rapat DPRD, baru kemudian masuk di APBD.
Terjadilah "ketok palu".
Di sinilah pokir berpotensi menjadi sarana korupsi. Mau bukti? Hampir semua temuan korupsi, sampai yang tertangkap dan dipidana, terjadinya sejak pokir.
Kalau "ketok palu" mau terjadi dengan lancar, suap diberikan kepada anggota DPRD.
Mereka, yang ingin proyeknya gol, melakukan negosiasi awal, dengan ending: menyuap anggota DPRD, eksekutif, dan pihak yang berkepentingan.
Lain cerita, kalau anggota DPRD dan eksekutif, secara langsung bermain. Kalau mereka sudah punya CV/PT sendiri (yang dikerjakan orangnya), sudah mengerti peta siapa yang bisa di-sepik, akan lebih mudah.
Cara Kedua, kita beri nama "Pengarahan Proyek". Anggota DPRD mengarahkan proyek-proyek dari APBD kepada rekanan atau perusahaan tertentu.
Prosesnya begini. Selama penyusunan APBD, anggota DPRD mengusulkan proyek-proyek yang akan dilaksanakan oleh rekanan yang sudah ditentukan. Proyek-proyek ini kemudian dilelang. Dengan kekuatan super, proyek ini akan diberikan kepada rekanan tertentu melalui proses yang tidak transparan. Kalimat yang sering kita dengar, dari bisik-bisik mereka? "Nanti kita kondisikan..", "Proses lelang nanti kita kawal". Kalau kita dengar "pengantin", artinya proses itu dikawal mulai dari usulan sampai lelang menang dan siap dijalankan. Sistem yang paling aman bagi koruptor adalah sistem "susuk ngarep", alias ngasih cash-back di depan sekian persen, sebelum proyek dijalankan. Ada juga sistem "bagen", alias mendapatkan kick-back (bagian) kepada anggota DPRD yang mengawal.
Yang ngehit berikutnya, tentu saja Manipulasi Hibah dan Bantuan Keuangan. Ini terjadi ketika anggota DPRD memakainya untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Awalnya, anggota DPRD mengajukan hibah atau bantuan keuangan untuk proyek tertentu di desa atau di dapil pemenangannya. Terus menunjuk kontraktor -- yang mau melakukan "kesepakatan". Kemudian dana ini digelapkan, diselewengkan, atau tidak sepenuhnya digunakan untuk proyek yang diajukan. Misalnya, ada sekian puluh musholla diusulkan mau ada perbaikan. Terus dapat uang sekian, dipotong sekian. Kemudian laporan dengan foto-foto yang tidak sesuai kenyataan. Makanya, ini disebut penggelapan, karena sudah terencana dalam melakukan penipuan.
Yang ini tidak perlu contoh. Mungkin kita sudah sering tahu. Kita sudah sering baca berita.
Jadi, sebenarnya sangat memalukan, kalau orang-orang sekelas anggota DPRD yang mewakili rakyat itu masih dapat sosialisasi dan pendidikan dari KPK. Mereka diberitahukan mekanismenya seperti apa. Diawasi dengan ketat. Terus diberitakan secara datar dan netral. Mengapa ini masih terjadi? Karena pokir yang jumlahnya 1.375 itu berpotensi menjadi sarana korupsi.
Mari kita rekap sekali lagi. Banyak temuan korupsi, mengatakan bahwa korupsi terjadi sejak pokir. Apakah kita tahu, apa saja isi 1.375 pokir di pidato Mbah Kaji kemarin? Apakah kamu terlibat dalam pokok pikiran itu? Tidak ada korupsi sendirian. Korupsi selalu disengaja dan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H