Yogyakarta - Alunan musik keroncong menggema di setiap lorong-lorong, deretan gerbong perlahan meninggalkan para muda-mudi yang sekedar nongkrong, di tengah riuhnya Stasiun Tugu, tetiba semuanya terasa kosong.
"Penumpang KAI Commuterline dengan tujuan Solo Balapan harap menunggu di Jalur 2," suara itu berulang-ulang terdengar lantang, memaksa para penumpang sepertiku yang masih enggan beranjak.
Sembari mengeluarkan gawai untuk scan barcode, kupercepat langkahku agar segera sampai Commuterline. Sebab, meski terasa amat berat, aku juga tak ingin telat.
Tempat duduk khusus wanita di KAI Commuterline ini kupilih untuk duduk dan bersandar, sembari sesekali menghirup wangimu yang seakan masih belum juga pudar.
Pada gerbong kedua di sudut  ini, aku merasa aman, tak ada yang menggangguku saat sedang mengenang 3 jam perjumpaan singkat denganmu pada minggu kedua bulan Agustus di tepi Yogyakarta.
Aku tak sedang membahas UMR kota ini dan suasananya yang diromantisasi, tapi nyatanya, roda-roda besi dan hanya 8 ribu yang kubawa pulang-pergi, cukup untuk sekedar melihatmu secara nyata, bukan dalam angan atau layar kaca.
Perlahan mulai kupejamkan mata, meyakinkan diri bahwa besok semua akan kembali seperti semula, setidaknya hari ini, aku masih melihatmu baik-baik saja.
Sama sepertiku, bisa saja para penumpang KAI Commuterline ini sedang sibuk dengan perasaannya masing-masing, namun mereka terlihat duduk dengan nyaman, bahkan tak sedikit yang tertidur di pulas di bangkunya.Â
Rasanya baru 5 menit, aku mendengarmu bercerita banyak tentang teman-teman di tempat kerja, menyeruput secangkir teh panas dan sepiring gorengan di bangku-bangku tua.
Rasanya baru 5 menit, suara merdu Almarhum Didi Kempot menyela guyonan mu yang masih membuatku banyak tertawa. Entah dia yang memang lucu, atau aku yang jatuh cinta?
Kereta listrik modern ini berjalan tanpa banyak goncangan. Ia melaju cepat, membawaku kembali pada kota kelahiran, sekaligus menciptakan 100 kilometer jarak denganmu dan menuai rindu yang hanya bisa diobati minimal satu kali dalam 2 minggu.
20 jam relasi Solo-Yogyakarta pada KAI Commuterline cukup menyelamatkan para buruh sepertiku yang hanya bisa mencuri-curi waktu untuk sekedar temu.
Bahkan saat pandemi Covid-19 yang mematikan setiap sendi, kereta ini masih memberi aku kesempatan untuk melihatmu, lagi dan lagi.
Hampir selalu, kupilih waktu antara jam 2 hingga 4 sore, saat hari belum gelap, agar waktu yang tersisa masih panjang, setidaknya sebelum tiba temaram.
Memang, aksara perlu jarak agar bisa terbaca menjadi sebuah kata, tapi bagiku jeda demi jeda yang tercipta ini terasa panjang, lama dan melelahkan.
Hari sudah gelap, namun KAI Commuterline ini masih melaju, melintasi 11 stasiun Yogyakarta-Solo yang nampak belum juga sepi penumpangnya.
Stasiun-stasiun itu seperti pikiranku, masih ramai dengan seribu pertanyaan tanpa jawaban, sejuta keresahan tanpa setitik kelegaan, ada banyak yang ingin kusampaikan, namun semua terasa tercekat di tenggorokan.
45 menit perjalanan, gerbong KAI Commuterline ini mulai terasa lebih longgar dari sebelumnya, sebagian sudah turun, sementara yang berdiri sudah mendapat tempat duduk, namun aku masih tertunduk.
Sebentar lagi kereta akan sampai tujuan akhir, bagiku itu artinya kenyataan semakin dekat, kehidupan di luar gerbong yang melindungiku saat ini sudah menunggu, mau tak mau.
Sayub-sayub lagu Bengawan Solo mulai terdengar di sudut gerbong KAI Commuterline, meski kereta listrik ini belum sepenuhnya berhenti di tempatnya.
Ingin rasanya mengabarkan, "aku sudah sampai, tapi rinduku belum usai" , tapi ternyata nyali untuk menyapamu lebih kecil dari kenyataan bahwa aku harus tau diri.
Sama seperti penumpang KAI Commuterline yang turun biasanya lebih tenang, dibanding saat naik, akupun tak terburu-buru meninggalkan gerbong yang sudah mendengar keluh kesahku 1 jam ini.
Rupanya aku jadi penumpang terakhir di gerbong ini, menengok sekeliling, KAI Commuterline ini sudah kosong dan sepi, namun tak ada yang berubah dibanding saat berangkat tadi, bersih, rapi dan wangi.
Sementara itu, pintu keluar sudah penuh dengan penumpang yang mengantre mengular untuk keluar, memenuhi jalan yang tadinya lebar.
Satu per satu mereka berlalu, termasuk aku, pintu keluar khusus KAI Commuterline itu kulalui dengan mudah, murah tanpa marah-marah.
Sekali lagi ingin kutanya, sudah sampaikah dia di rumah? ah, kuurungkan niatku untuk kesekiankalinya. Rasanya baru 1 jam aku tiba, sudah rindu 1 menit sesudahnya.
Lagi dan lagi, KAI Commuterline tak hanya mengantarku datang dan pergi, pun juga saksi saat menyeka air mata dan memeluk rinduku sendiri.
Bangku-bangkunya begitu tabah mendengar cerita dan keluhanku yang kuulang berkali-kali. Gerbong besinya begitu kokoh melindungi aku yang masih gigih mengejar matahari.
Relasi terakhir yang kutumpangi, selanjutnya KAI Commuterline itu terlihat diistirahatkan pada ruang di ujung Stasiun Balapan, untuk esok siap kembali melaju, meski tak bersamaku.
Setibanya di Solo, dibalik pintu KRL itu, tak lagi kulihat bayangmu yang mengantarku, tak lagi ada hangat genggammu di ujung Stasiun Tugu.
"Tangi mbok, wes sore, gek mahriban sikik, njo tak imam i"Â suara itu terdengar begitu dekat, perlahan kubuka mata sembari meregangkan otot-otot leher yang kaku.
Mimpi yang menjadi nyata ternyata bukan dongeng di buku-buku cerita saja, bahkan sosoknya kini bisa kulihat hampir setiap harinya.
Tapi KAI Commuterline dan jasanya, aku serta rindu padamu bukan bunga tidur yang berlalu begitu saja.Â
KAI Commuterline sudah menjadi benang perajut rindu, yang membuat aku dan kamu kini bisa disebut kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H