20 jam relasi Solo-Yogyakarta pada KAI Commuterline cukup menyelamatkan para buruh sepertiku yang hanya bisa mencuri-curi waktu untuk sekedar temu.
Bahkan saat pandemi Covid-19 yang mematikan setiap sendi, kereta ini masih memberi aku kesempatan untuk melihatmu, lagi dan lagi.
Hampir selalu, kupilih waktu antara jam 2 hingga 4 sore, saat hari belum gelap, agar waktu yang tersisa masih panjang, setidaknya sebelum tiba temaram.
Memang, aksara perlu jarak agar bisa terbaca menjadi sebuah kata, tapi bagiku jeda demi jeda yang tercipta ini terasa panjang, lama dan melelahkan.
Hari sudah gelap, namun KAI Commuterline ini masih melaju, melintasi 11 stasiun Yogyakarta-Solo yang nampak belum juga sepi penumpangnya.
Stasiun-stasiun itu seperti pikiranku, masih ramai dengan seribu pertanyaan tanpa jawaban, sejuta keresahan tanpa setitik kelegaan, ada banyak yang ingin kusampaikan, namun semua terasa tercekat di tenggorokan.
45 menit perjalanan, gerbong KAI Commuterline ini mulai terasa lebih longgar dari sebelumnya, sebagian sudah turun, sementara yang berdiri sudah mendapat tempat duduk, namun aku masih tertunduk.
Sebentar lagi kereta akan sampai tujuan akhir, bagiku itu artinya kenyataan semakin dekat, kehidupan di luar gerbong yang melindungiku saat ini sudah menunggu, mau tak mau.
Sayub-sayub lagu Bengawan Solo mulai terdengar di sudut gerbong KAI Commuterline, meski kereta listrik ini belum sepenuhnya berhenti di tempatnya.
Ingin rasanya mengabarkan, "aku sudah sampai, tapi rinduku belum usai" , tapi ternyata nyali untuk menyapamu lebih kecil dari kenyataan bahwa aku harus tau diri.
Sama seperti penumpang KAI Commuterline yang turun biasanya lebih tenang, dibanding saat naik, akupun tak terburu-buru meninggalkan gerbong yang sudah mendengar keluh kesahku 1 jam ini.