Surakarta - Tujuh penari perempuan berpakaian dodot hijau melangkah anggun diiringi gamelan yang ditabuh para niaga bersamir hijau kuning pareanom khas Mangkunegaran .
Geraknya perlahan namun pasti, sorot matanya teduh namun tajam, disaksikan ratusan tamu, para penari itu berjalan, dari arah Paringgitan menuju Pendapa Pura Mangkunegaran, Sabtu (12/3/2022).
Sesuai kutipan sebagian lirik gending yang terus mengiringi saat menari, "Anglir mendung kang wadja-bala wus tata / anglar samja sumiwi / santana arampak / samja busana indah / neka warna tinon asri / lir singa lodra / sadaja golong pipit /" .
Jika diartikan, bagaikan awan yang gelap, tentara berdiri berbaris / dalam formasi seperti sayap / santana sudah berkumpul / semua dalam jubah yang indah / banyak warna, megah dilihat / seperti singa buas / semua berdiri dalam barisan rapat.
Mereka terus bergerak mengikuti irama gending, di belakangnya, nampak empat perempuan membawa bokor dengan aroma kemenyan yang magis dan asap mengepul tipis.
Kurang lebih sepuluh menit setelah berjalan, Tari Bedhaya Anglir Mendung mereka bawakan dengan suasana khidmat dan sakral. Sesuai namanya, saat tarian disajikan, langit mendadak mendung meski tak turun hujan.
Sejarah Bedhaya Anglir Mendung
Mengenai sejarah dan penciptaannya, Bedhaya Anglir mendung memiliki berbagai versi dan sumber sejarah yang berbeda-beda.
Menurut sebuah naskah ketikan dengan judul "Beksan Anglirmendhung" (tanpa tahun dan tanpa nama pengarang) menyatakan, Bedhaya Anglir Mendung sudah ada sejak Kerajaan Kartasura masih berjaya.
Dikatakan pula dalam naskah itu bahwa setiap kali R.M Garendi atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Kuning memperingati hari kelahirannya, Gendhing Ketawang Alit Anglir Mendhung menjadi komponen utama saat upacara selamatan.