Gara-gara praktik nepotisme tadi, orang yang sebenarnya layak berdasarkan pangkat, kompetensi, dan kinerja tidak diangkat menjadi pejabat eselonering karena ia bukan anggota keluarga dan teman kepala daerah. Orang seperti ini bisa jadi tidak dikasih jabatan apa-apa (nonjob). Akhirnya, kemampuan yang ia miliki percuma sebab tidak dipakai. Dalam praktik nepotisme, kepala daerah justru memilih orang yang loyal kepadanya, baik loyal secara politis maupun loyal soal setor-menyetor uang. Akibatnya, jabatan eselonering, seperti kepala OPD, menjadi sapi perah kepala daerah.
Pada akhirnya, pengangkatan pejabat eselonering berdasarkan pangkat, kompetensi, dan kinerja bergantung pada niat kepala daerah. Sebelum menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat, Nasrul Abit-Indra Catri sudah berniat memberantas nepotisme dalam kepemimpinan mereka jika menang dalam pilkada kali ini.Â
Mereka memasukkan niat itu ke dalam program kerja mereka, yakni menempatkan pejabat eselonering dan ASN berdasarkan kompetensi dan kinerja di bidangnya. Bagi keduanya, sudah saatnya mengakhiri budaya "asal bapak senang" dalam birokrasi pemerintah yang dikenal rentan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Khusus Nasrul Abit, yang berniat menjadi gubernur satu kali jika menang pilkada kali ini, ia akan meninggalkan jejak yang baik untuk Sumbar, termasuk dalam hal birokrasi.Â
Sang birokrat itu akan membuat standar yang tinggi untuk pengangkatan pejabat eselonering. Dengan begitu, setelah ia tak lagi menjadi gubernur kelak, standar yang ia buat itu menjadi patokan bagi gubernur selanjutnya. Standar itu akan menentukan apakah gubernur-gubernur selanjutnya akan mengangkat pejabat eselonering berdasarkan pangkat, kompetensi, dan kinerja di bidangnya atau berdasarkan lingkaran perkawanan dan kekeluargaan. Selanjutnya, biarkan rakyat yang mengawasi dan menilainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H