Aku tak bisa bergerak, kakiku begitu berat, hatiku tak kuasa membangunkan pikiran dan hasrat kebangkitan. Semuanya tampak menghitam dalam bayangan, dan membakar luka tak berkesudahan. Aku di sini, di rumah rumah besar, dalam balutan bingkai Nusantara.Â
Aku cukup merasa merdeka, bebas, dan bisa berbuat apa saja. Kebangkitanku seharusnya membangkitkan arwah-arwah pahlawan yang dahulu memperjuangkan kehidupan, tetapi segala tak begitu terjadi. Setiap hari, aku terus terdiam dalam sandaran bangku bambu keropos yang masih kuat menyanga tubuhku. Sementara tagihan-tagihan tetap saja menghampiriku, memenuhi meja reyot, perlahan-lahan menidurkan ragaku. Aku belum selesai dengan perjuangan membebaskan diri dari kehidupan lamaku sebagai penjudi dan penjajah.Â
Ya, namaku Bejo. Memang, aku pernah mengalami keberuntungan. Hidup adalam balutan rasa dan penderitaan, rumah reyot yang aku miliki seolah menjadi bukti ketidakmampuanku berjuang untuk bangsa ini. Tanpa keluarga, dalam kesendirian hidup, aku membalut kesedihan  dalam tagihan utang begitu panjang. Tekanan-tekanan tatanggaku, menghinaku dan mencaci seluruh inderaku, dan membuat tubuhku setiap hari terkapar. Tak seorang pun peduli, karena sesungguhnya aku sedang menanggung dosa.Â
Sementara tagihan-tagihan tetap saja menghampiriku, memenuhi meja reyot, perlahan-lahan menidurkan ragaku. Aku belum selesai dengan perjuangan membebaskan diri dari kehidupan lamaku sebagai penjudi.Â
Aku terbangun, dan aku merindukan keluarga yang kubangun. Aku membuka mata dan aku merindukan makanan enak yang dulu pernah aku santap setiap hari. Aku membuka hati untuk sahabat-sahabat yang kini tak mempedulikan lagi. Hilang, dan segalanya telah lenyap dalam impian panjang menjadi menusia hebat dan berderajat. Lenyap, kehebatanku sebagai lelaki yang menguasai kota, menjajah negeri, membangun ular-ular bisnis, menjadi pemotong pajak, koruptor, penjaja manipulasi, penindas, atau penguasa partai politik. Semuanya melebur dalam kulitku yang semakin mengeriput.Â
Aku pernah menjadi penguasa hebat, menguasai jagad raya, dan menimbun harta untuk anak-anakku, untuk istri-istriku, untuk cucu-cucuku dan untuk pengikut-pengikutku. Namun, kehancuranku ternyata menunggu dalam kesabaran abadi kini. Datang tiba-tiba, dan aku rubuh sendiri dalam tubuh yang semakin merenta.Â
Bejo, kini tinggal sebongkah mayat hidup yang selalu menjadi tontonan dan cemoohan anak-anak miskin pinggir jalan.Â
Datang tiba-tiba, dan aku rubuh sendiri dalam tubuh yang semakin merenta. Bejo, kini tinggal sebongkah mayat hidup yang selalu menjadi tontonan dan cemoohan anak-anak miskin pinggir jalan.Â
Setiap hari, aku terbiasa dilempar telur busuk, disajikan nasi basi, dan diberikan segelas minum air comberan. Dalam bidikan puluhan kamera, orang-orang sekelilingku tertawa dan menjadikanku sebagai simbol tirani penguasa. Aku menyerah untuk menebus dosa keabadianku,