Hari ini, tidak ada bendera setengah tiang,Â
Kota terasa begitu sepi. Jalan-jalan tetap terlarut dalam kemacetan. Lalu-lalang manusia masih saja menumpahkan keringat, berharap keadilan dan kehidupan berjalan seperti biasa. Kantor-kantor terus saja menambang dolar dan untung besar untuk ahhir tahun yang membahagiakan. Pasar tampak seperti biasa, pedagang dan pembeli seolah menawar dalam irama keuntungan yang terus dinaikkan. Ada yang buntung, ada yang untung. Semua biasa terjadi, setiap hari, setiap hari.Â
Sekolah masih saja meneriakkan kemerdekaan. Dalam kelas ribuan penjelasan menjejali setiap siswa dengan beragam pengetahuan yang tak terbatas. Anak-anak kecil seolah tak merasakan keindahan bermain. Remaja-remaja tak terbelenggu dalam jagad permainan televisi enam inci. Semua terdiam di kelas-kelas, di sekolah-sekolah, di terminal-terminal, di stasiun-stasiun, di warung-warung menatap deratan angka-angka. Seragam-seragam sekolah tak lagi mengenal sejarah, apalagi nilai sejarah.Â
Semua terdiam di kelas-kelas, di sekolah-sekolah, di terminal-terminal, di stasiun-stasiun, di warung-warung menatap deratan angka-angka. Seragam-seragam sekolah tak lagi mengenal sejarah, apalagi nilai sejarah.
Orang tua sibu bekerja, mengisi kantor-kantor kosong. Sementara rumah tak lagi berpenghuni dan setiap hari dipenuhi pesta para hantu-hantu siang bolong. Tak ada kehidupan di sepanjang perumahan tengah kota, tak ada kehidupan di sepanjang apartemen-aparteman kota. Penghuni sibuk melupakan semua peristiwa. Kini, uang menjadi raja, ratu, kaisar, dan tuhan.Â
Hari ini, tidak ada bendera setengah tiang,Â
Buku-buku tak lagi tersedia. Rakyat tak lagi bisa membaca. Kedohan sesungguhnya telah menggerogoti kehidupan dan menjajah kita dalam ketidakadilan dan ketimpangan. Semua melarutkan diri dan terlena dalam ketiadaan sejati. Dalam kesibukan, tak berbuat apa-apa. Dalam kemakmuran, kemiskinan pun ada. Semuanya menggali kehidupannya sendiri dan berjuang untuk dirinya sendiri. Seolah tidak ada korupsi, seolah tidak ada kemiskinan, seolah tidak ada ketidakadilan, seolah tidak ada keangkaramurkaan, seolah ada kebahagiaan.Â
Kedohan sesungguhnya telah menggerogoti kehidupan dan menjajah kita dalam ketidakadilan dan ketimpangan. Semua melarutkan diri dan terlena dalam ketiadaan sejati.
Semua berjalan seperti biasa, padahal kita telah melupakan segalanya. Melupakan pejuang-pejuang yang telah memberi kita jalan, melupakan pahlawan yang telah menghidupi kita, melupakan sejarah yang telah membentuk kita. Kita terlupa dan melupakan segala peristiwa yang tak menghasilkan buah-buah kenikmatan untuk kita.Â
Kita tak lagi ingat peristiwa yang telah melumpuhkan bangsa. Kita lupa pada setiap nyawa yang terkapar tak berharga. Kita lupa pada arti titik darah penghabisan. Kita begitu mudah menutup mata.Â
Hari ini, tidak ada bendera setengah tiang,Â
Kita menutup mata dan menutup buku sejarah. Ketika dua puluh enam tahun yang lalu, ribuan orang terkapar, tersiksa, dan hangus di antara bangunan-bangunan mal, ruko, toko, dan rumah-rumah megah. Tangisan dan bau anyir yang terasa tak lagi kita rasa, tak lagi sanggup kita cium. Anak-anak adalah korban, wanita-wanita menjadi tumbal keberingasan. Semua hilang dan tak kembali, meski tuntutan-tuntutan peduli terus menguasai sudut-sudut keadilan. Kita bungkan dan tak sanggup memberi senyuman. Â Â
Anak-anak adalah korban, wanita-wanita menjadi tumbal keberingasan. Semua hilang dan tak kembali, meski tuntutan-tuntutan peduli terus menguasai sudut-sudut keadilan. Kita bungkan dan tak sanggup memberi senyuman. Â Â
Empat belas Mei seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan telah menjadi bangkai dan terlupa begitu saja. Semua  kehidupan nyata itu telah kita lupakan, di antara tangisan-tangisan yang terus berjuang. Karena kita telah melupakan segalanya. Ya, kita telah lupa dan asyik menutup luka.
Hari ini, tidak ada bendera setengah tiang,Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H