Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pamor Kebudayaan yang Semakin Terpinggirkan

9 Februari 2024   08:06 Diperbarui: 9 Februari 2024   08:18 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Membangun Kembali Visi Budaya (Sumber: enricsagarra-pixabay.com)

Kebudayaan. Mempertahankan cara hidup di tengah gelombang perubahan seperti sebuah keniscayaan yang terus tergerus arus zaman. Selalu dibutuhkan keringat yang begitu deras mempertahankan nilai kehidupan, apalagi keberagaman selalu dipertentangkan. 

Ketika selalu dihadapkan pada kekayaan nilai, norma, kepercayaan, tradisi, bahasa, dan seni, kekayaan bangsa Indonesia sebenarnya sungguh tak terbatas. Kekayaan dalam segala aspek kehidupan tak bisa dirangkum dan dibuat menjadi sebuah miniatur sederhana yang bernama Indonesia. Begitu luas membentang, masyarakat kita hidup dalam beragam cara dan bentuk yang begitu sulit melepaskan diri dari komunitasnya.  

Bentang budaya yang begitu luas itu pada akhirnya membentuk nilai toleransi dan penghargaan hidup untuk saling memiliki; dalam satu bangsa. Sayang, terkadang kepentingan kekuasaan dan ekonomis praktis membenturkan kekuatan nilai hidup pada peringkaran dan perpecahan. Rakyat menjadi objek, budaya menjadi komoditas yang terus diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. 

Mempertahankan, apalagi membangun kembali kebudayaaan memang akan terasa begitu  sulit. Selalu dibutuhkan keberanian, kerja keras dan tetes keringat yang tiada terhingga, karena setiap langkah mempertahankan kebaikan nilai dalam masyarakat selalu dianggap tidak membawa keuntungan.  

Mungkin kita bisa merasakan runtuhnya nilai gotong royong, nilai yang selama ini dipahami membentuk adab suatu masyarakat.  Penurunan nilai itu begitu terasa ketika kita hadir di tengah masyarakat kota dengan individualisme dan mobilitas sosial sangat tinggi.

Mungkin kita bisa merasakan runtuhnya nilai gotong royong, nilai yang selama ini dipahami membentuk adab suatu masyarakat.  Penurunan nilai itu begitu terasa ketika kita hadir di tengah masyarakat kota dengan individualisme dan mobilitas sosial sangat tinggi. 

Pamor kebudayaan memang begitu mudah terhempas, apalagi globalisasi,urbanisasi, pendidikan, konflik dan media masa pun mengalami perubahan yang tidak dapat dikendalikan. Arus perubahan begitu cepat, sementara beragam kebijakan tak pernah menyentuh visi kebudayaan. Kita gagal fokus dan tak menganggap kehidupan nilai sebagai sebagai arah kebijakan pembangunan. 

Kita selalu menganggap menganggap pembangunan infrastuktur lebih utama, lebih bermanfaat, dan lebih menguntungkan. Dana besar begitu mudah digelontorkan. Pada saat yang sama, kita mengamini penghancuran  hutan-hutan adat untuk perkebunan. 

Bukan hanya tidak menguntungkan, membangun visi pembangunan budaya dianggap tak akan menghasilkan apa-apa. Dibandingkan mengangkat budaya, merangkul pembangunan infrastruktur lebih menguntungkan dan lebih menarik pemodal, pinjaman begitu mudah dicairkan. 

Visi budaya tidak menarik untuk diangkap sebagai visi kekuasaan. Visi budaya hanya dianggap selalu membebani anggaran dan tidak penting seperti halnya pembangunan ekonomi atau keamanan. Maka, kekuasaan terkadang selalu menempat visi budaya bukan sebagai pembangunan prioritas dan  visi utama kekuasaan. Apalagi saat calon pemimpin menawarkan visi dan misi kekuasaannnya, begitu vulgar calon-calon pemimpin menawarkan  visi dan misi yang hanya berkutat pada ekonomi praktis belaka. 

Apalagi saat calon pemimpin menawarkan visi dan misi kekuasaannnya, begitu vulgar calon-calon pemimpin menawarkan  visi dan misi yang hanya berkutat pada aspek ekonomi praktis belaka.

Masa kampanye memang menjadi sarana untuk menarik massa berpihak kepada calon penguasa. Tawaran-tawaran manis selalu meninabobokan akal sehat dan nurani, bahkan mengingkari nilai-nilai kebaikan dan kebajikan dalam masyarakat. Kampanye  hanya dianggap upaya  menarik simpati massa. Janji bukan sumpah yang harus ditepati dan dilaksanakan.  

Kini, saatnya untuk membuka kembali tawaran-tawaran manis calon presiden yang akan memimpin negeri ini. Apakah diantara mereka ada yang begitu berminat, peduli, dan mempunyai komitmen kuat membangun kebudayaan Indonesia yang bermartabat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun