Visi budaya tidak menarik untuk diangkap sebagai visi kekuasaan. Visi budaya hanya dianggap selalu membebani anggaran dan tidak penting seperti halnya pembangunan ekonomi atau keamanan. Maka, kekuasaan terkadang selalu menempat visi budaya bukan sebagai pembangunan prioritas dan  visi utama kekuasaan. Apalagi saat calon pemimpin menawarkan visi dan misi kekuasaannnya, begitu vulgar calon-calon pemimpin menawarkan  visi dan misi yang hanya berkutat pada ekonomi praktis belaka.Â
Apalagi saat calon pemimpin menawarkan visi dan misi kekuasaannnya, begitu vulgar calon-calon pemimpin menawarkan  visi dan misi yang hanya berkutat pada aspek ekonomi praktis belaka.
Masa kampanye memang menjadi sarana untuk menarik massa berpihak kepada calon penguasa. Tawaran-tawaran manis selalu meninabobokan akal sehat dan nurani, bahkan mengingkari nilai-nilai kebaikan dan kebajikan dalam masyarakat. Kampanye  hanya dianggap upaya  menarik simpati massa. Janji bukan sumpah yang harus ditepati dan dilaksanakan. Â
Kini, saatnya untuk membuka kembali tawaran-tawaran manis calon presiden yang akan memimpin negeri ini. Apakah diantara mereka ada yang begitu berminat, peduli, dan mempunyai komitmen kuat membangun kebudayaan Indonesia yang bermartabat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H