Natal. Bulan Desember merengkuh daya, berjalan perlahan dan mulai mendekati ujung jalan. Di pertengahan jalan waktu, pohon-pohon Natal menghiasai rumah, lampu gemerlap menghiasi penantian.Â
Aku berdiri di rumah kecil itu. Rumah-rumah ditata, kado-kado siapkan. Ibu, anak, dan bapak mencoba menata setiap ruang menjadi indah dan tertata. Gemerlap Desember segera di mulai. Meski tak begitu banyak orang merayakan tetapi suasana setiap kota tampak tak kesepian. Libur panjang pun menandai kehidupan Natal segera tiba.Â
Menyiapkan kado dengan bertukar kado, anak-anak menyapa keceriaan, wanita setengah baya menghela kesungguhan. Di ruang-ruang menampilkan kegembiraan, dalam pelukan pohon natal tua di ujung ruangan, wajah-wajah berkerut tampak tak kelu. Tampak kegembiraan terus meraja. Aku tidak bergerak lagi, dalam ruang yang belum juga tertata. Aku iri yang terus memburu.Â
Aku mencoba menata kembali pohon natal tua, saat dua tahun aku menemukan pohon itu terkoyak di tepi jalan, tak terurus bersama sampah-sampah yang begitu saja terbuang percuma. Aku menyimannya, aku rangkai, di depan ruang aku tempatkan. Di sanalah pokoh itu menghiasai rumah, tanpa lampu, tanpa gemerlap kegembiraan. Meski, anak perempuan kecil itu selalu duduk memandang pohon natal yang tengah redup dalam kehidupannya. Dia tampak gembira, meski tanpa gemerlap lampu tersedia.Â
Tampak kegembiraan terus meraja. Aku tidak bergerak lagi, dalam ruang yang belum juga tertata. Aku iri yang terus memburu.Â
Meski tampak hijau, sebagian pohon natal yang terpasang tak lagi tampak sebagai sebuah pohon dalam kesempurnaannya. Sebagian ranting hilang, batang pohon bengkok, tanpa hiasan, tanpa lampu, dan selalu bergoyang ketika tiupan angin menerpanya. Meski tak mungkin roboh tertiup angin, pohon itu begitu tenang terikat  dengan tali plastik. Anak kecil itu tetap terdiam di depan pohon tanpa kesempurnaan.Â
Ketika Desember tiba, seharusnya rumah-rumah sempurna kokoh dengan pohon kesempurnaan. Meriah suasana selalu terbangun menanti sang guru kehidupan kembali terlahir. Bukan hanya sebagai makna, tetapi menjelma dalam kehidupan nyata. Rumah dengan kegembiraan kecil tercipta dengan serangkan cerita tentang pohon-pohon natal yang menghiasai ruang-ruang tamu. Tamu kehidupan dalam penantian,  segera datang.Â
Seharusnya aku tak cukup hanya termenung, ketika seonggok rangkaian pohon tak sempurna nyata berdiri di tengah ruang yang begitu berantakan. Aku sengaja memasangnya di ruang ini agar tetap tampak sempurna sebagai keindahan, tidak hanya sebagai kehidupan saja. Namun, pohon natal tua tak begitu sempurna terpasang di sudut rumah tua, dia akan menampakkan keindahnnya ketika tiupan angin selalu menyempurnakannya.
Namun, pohon natal tua tak begitu sempurna terpasang di sudut rumah tua, dia akan menampakkan keindahnnya ketika tiupan angin selalu menyempurnakannya.Â
Pohon tua , di tengah penantian natal itu sempurna saat tiupan angin, cahaya yang menerpanya begitu sempurna. Cahaya matahari seolah kembali menghidupkannya. Namun, di ruang-ruang rumah tua, ternyata pohon itu tak menjadiannya bermakna. Dia hanya menjadi seonggoh cerita saat ujung tahun berganti. Aku mencoba memindahkan kembali, kemana seharusnya dia terlihat bermakna.Â
Namun, rumah tua ini memang selalu saja tampak angkuh untuk menjadikannya menampakkan kekohannya. Tidak ada tempat yang menjadikannya sempurna. Tidak ada ruang yang menjadikannya bermakna. Anak kecil itu selalu saja merengek agar pohon tak begitu saja terpasang. Karena tidak ada suara atau cahaya yang menjadikannya tampak dalam keindahan. Hanya di tengah halaman rumah tua, pohon natal yang tidak lagi sempurnya itu memancarkan keindahannya.Â
Anakku terduduk, tersenyum saat pohon itu tertiap angin. Pohon itu bergoyang dalam luapan kegembiraan bersama anakku yang kembali menghadirkan kegembiraan di tengah perjalanan menjemput guru kehidupan.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H