Perjalanan. Menikmati sebuah perjalanan selalu melahirkan beragam perasaan. Terkadang menggembirakan, terkadang muncul kesan kesedihan. Tetapi Jakarta selalu menjadi kota untuk memunculkan sebuah kerinduan.Â
Perjalanan meninggalkan Kota Jakarta selalu dimulai dengan penuh harapan. Ketika senja tiba, segala persiapan direncanakan; memenuhi koper untuk tujuan perjalanan dua minggu kedepan. Tanah bersejarah, ketika Tuhan mengirimkan anak manusia yang kemudian menjadi juru selamat.
Senin sore, sebuah koper besar dan sebuah tas rangsel merah yang biasanya menemani ke tanah bersejarah menghabiskan kesendirian siap untuk melaju menghibur kehidupan senja. Sebuah mobil menjemput, dan perjalanan meninggalkan tanah tercinta segera dimulai. Kali ini sebuah harapan besar untuk mengunjungi keindahan tanah suci  tanah asal muasal kehidupan dimulai.Â
Dua jam perjalanan, menghindar jalur-jalur kemacetan, menyusuri jalan kecil dengan polisi tidur yang tak habis untuk ditaklukkan menjanjikan waktu yang tak terlambat sampai bandara. Soekarno-Hatta, sebuah bandara kebanggaan Indonesia terus saja menjadi sebuah pijakan memulai harapan. Pukul delapan malam, mobil merapat di terminal 3, Bandara Soekarno-Hatta.Â
Barang mulai diturunkan, langkah kaki mendekat pintu dua terminal 3. Di ujung sebuah rentetan counter makanan berdiri kokok tepat di ujung selasar terminal tiga. Di sanalah, kami semua berkumpul mempersiapkan penerbangan tengan malam. Dalam detik demi detik penantian, dalam menit demi menit mempersiapkan diri, dalam jam demi jam membangkitkan keinginan untuk segera melaju dalam udara malam ketinggian. Perjalanan panjang delapan jam akan dilalui, melelahkan dan selalu mengusik kenangan.
Dalam detik demi detik penantian, dalam menit demi menit mempersiapkan diri, dalam jam demi jam membangkitkan keinginan untuk segera melaju dalam udara malam ketinggian. Perjalanan panjang delapan jam akan dilalui, melelahkan dan selalu mengusik kenangan.
Bagasi mulai ditata, satu per satu mulai masuk dan didata, sebuah antrean panjang mengular, pertanda setiap peristiwa harus dimulai, dan perjalanan segera mengharu, memupuskan kenangan akan Jakarta yang tertelan kerinduan. Langkah demi langkah tergambar dalam serombongan manusia yang mencoba menapaki tanah suci dengan segala kisah bijak lewat berbagai kitab hidup setiap manusia. Menapaki dan terus menekuni perjalanan panjang untuk mengolah hati, menekuni kisah kebijakan suci.Â
Namun, sebelum kami memasuki pintu penjagaan, rasa lapar dan dahaga sungguh menyelimuti diri. Sepiring nasi goreng, sebuah botol air mineral mempuskan kelelakan kami, dan menjadi bekal, sekedar menikmati menu luar biasa, murah meriah dan nikmat di lidah kami masing-masing. Mungkin saja, nasi seperti ini tidak akan kami dapatkan di tanah seberang, tanah suci yang akan kami kunjungi.Â
Perut terasa menebal, waktu terasa asing, saat kami semua mulai memasuki pintu penjagaan. Di Terminal 3 Soekarno-Hatta, kami semua mulai menghidup udara kebebasan, menghidup udara petualangan untuk merasakan jejak-jejak penguasa alam. Satu per satu, kami mulai memasuki ruang tunggu, sebelum sebuah pesawat mempersiapkan diri untuk menerima kami semua. Pesawat berbadan lebar, Boeng 737-300, burung raksasa, yang akan membawa kami semua membelah langit, menelusuri angkasa, sampai di Bandara Dubai.Â
Malam semakin kelam, kehidupan di bandara tidak semakin kelam. Keramaian penumpang menyesaki ruang tunggu menuju pesawat. Ketika panggilan terdengar, penumpang mulai memasuki si burung besi. Dalam sekejap ruang tunggu pun terasa sepi, sebelum akhirnya pintu pesawat mulai tertutup rapat. Pesawat mulai berjalan perlahan, penumpang mulai mengenakan sabuk pengaman. Landasan pun mulai ditinggalkan, dalam sekajap, bongkahan besi bermesin itu pun membelah angkasa.Â
Pesawat mulai berjalan perlahan, penumpang mulai mengenakan sabuk pengaman. Landasan pun mulai ditinggalkan, dalam sekajap, bongkahan besi bermesin itu pun membelah angkasa.
Penumpang mulai tertidur, sementara paramugari mulai segera mengiapkan makanan. Sebagian sudah tertidur, dan sebagian makan dengan sajian khas pesawat Emirate. Malam itu, kami tertidur dalam kelelahan, badan terasa kaku saat sesak kursi menyiksa keinginan. Delapan jam perjalanan, melelahkan, dan akhirnya sampai juga kami di Dubai untuk transit pesawat. Tiga jam menunggu, pesawat transit telah tersedia.Â
Pukul sepuluh pesawat kami mulai meninggalkan Bandara Internasional Dubai menuju Tel Aviv. Perjalanan tengah hari yang terasa panas sungguh berbeda. Tidak ada lagi rasa lelah, tetapi rasa lapar menggurui perut kami. Beruntung setelah masuk pesawat, hidangan segera tersaji. Santapan tak disia-siakan, santapan segera dimakan. Kenikmatan sajian makanan di pesawat selalu mengingatkan kami pada beragam makanan yang mungkin saja sejenak harus kami tinggalkan.Â
Kami harus rela melupakan beragam sajian makanan di warteg, warung padang, warung sunda, angkringan, dan beragam gerobak makanan  yang tak bisa dilupakan. Kami tiba di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv. Kami mulai peziarahan. Kami mulai melupakan semakin hitam kelamnya udara Jakarta. Kami mulai melupakan nikmatnya beragam jenis makanan yang tersaji di sepanjang jalan dan gang di sudut-sudut Kota Jakarta. Kini, kami tiba di tanah suci, memulai pengembaraan.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H