Perut terasa menebal, waktu terasa asing, saat kami semua mulai memasuki pintu penjagaan. Di Terminal 3 Soekarno-Hatta, kami semua mulai menghidup udara kebebasan, menghidup udara petualangan untuk merasakan jejak-jejak penguasa alam. Satu per satu, kami mulai memasuki ruang tunggu, sebelum sebuah pesawat mempersiapkan diri untuk menerima kami semua. Pesawat berbadan lebar, Boeng 737-300, burung raksasa, yang akan membawa kami semua membelah langit, menelusuri angkasa, sampai di Bandara Dubai.Â
Malam semakin kelam, kehidupan di bandara tidak semakin kelam. Keramaian penumpang menyesaki ruang tunggu menuju pesawat. Ketika panggilan terdengar, penumpang mulai memasuki si burung besi. Dalam sekejap ruang tunggu pun terasa sepi, sebelum akhirnya pintu pesawat mulai tertutup rapat. Pesawat mulai berjalan perlahan, penumpang mulai mengenakan sabuk pengaman. Landasan pun mulai ditinggalkan, dalam sekajap, bongkahan besi bermesin itu pun membelah angkasa.Â
Pesawat mulai berjalan perlahan, penumpang mulai mengenakan sabuk pengaman. Landasan pun mulai ditinggalkan, dalam sekajap, bongkahan besi bermesin itu pun membelah angkasa.
Penumpang mulai tertidur, sementara paramugari mulai segera mengiapkan makanan. Sebagian sudah tertidur, dan sebagian makan dengan sajian khas pesawat Emirate. Malam itu, kami tertidur dalam kelelahan, badan terasa kaku saat sesak kursi menyiksa keinginan. Delapan jam perjalanan, melelahkan, dan akhirnya sampai juga kami di Dubai untuk transit pesawat. Tiga jam menunggu, pesawat transit telah tersedia.Â
Pukul sepuluh pesawat kami mulai meninggalkan Bandara Internasional Dubai menuju Tel Aviv. Perjalanan tengah hari yang terasa panas sungguh berbeda. Tidak ada lagi rasa lelah, tetapi rasa lapar menggurui perut kami. Beruntung setelah masuk pesawat, hidangan segera tersaji. Santapan tak disia-siakan, santapan segera dimakan. Kenikmatan sajian makanan di pesawat selalu mengingatkan kami pada beragam makanan yang mungkin saja sejenak harus kami tinggalkan.Â
Kami harus rela melupakan beragam sajian makanan di warteg, warung padang, warung sunda, angkringan, dan beragam gerobak makanan  yang tak bisa dilupakan. Kami tiba di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv. Kami mulai peziarahan. Kami mulai melupakan semakin hitam kelamnya udara Jakarta. Kami mulai melupakan nikmatnya beragam jenis makanan yang tersaji di sepanjang jalan dan gang di sudut-sudut Kota Jakarta. Kini, kami tiba di tanah suci, memulai pengembaraan.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H