Makan. Keramaian mengular hampir memenuhi seluruh ruangan di sebuah mal. Meski mal itu telah sepi selama masa pandemi, kini, setiap hari, ratusan orang rela antre untuk merasakan nikmatnya nasi.Â
Jutaan orang makan nasi, sudah biasa. Sebuah negara agraris yang mencoba bertahan dengan melidungi kebiasaan petani tetap mencintai tanaman padi. Meski harga begitu murah di tangan para petani, karena kebutuhan ribuan petani merelakan diri kehilangan sebagian kehidupan. Petani bersusah payah menanam padi, tetapi kemiskinan tak tersentuh kegembiraan. Bukan hanya siap menjadi orang yang dianggap miskin, keberadaan petani perlu dibela.
Nasi telan menjadi energi kehidupan banyak orang. Segala usaha diperjuangkan untuk memperoleh sesuap nasi dalam seteguk harga kehidupan. Setiap tempat makan selalu saja menyediakan beragam makanan termasuk nasi.Â
Orang-orang begitu keras mengejar padi-padi di sawah agar nasi bisa terus disantap. Namun, kemarau panjang membuat panen petani gagal dan tak menghasilkkan apa-apa. Mal-mal dengan puluhan rumah makan menjadi tempat menggembirakan  untuk meneruskan kelaparan. Di Sebuah mal yang tampak begitu ramai, ribuan orang mencoba menemukan nasi untuk sarapan pagi.Â
Pengunjung mal mulai antre, keramaian terjadi di mana-mana. Semua pengunjung begitu tergantung dengan keinginan makan nasi. Nasi menyihir ribuan orang. Sepiring nasi menjadi sebuah nilai yang begitu berharga. Orang terus berjuang mendapatnya. Berebut keinginan dan kesempatan untuk menikmatinya sebagai penghargaan terhadap jutaan petani yang berjuang untuk menghidupi tanaman pagi.
Tentang nasi
Namun, semakin siang antrean tak berkurang, bahkan semakin ramai. Sampai siang hari mal itu terus dipenuhi ribuan orang yang kelaparan dan tak sanggup mencari beras yang disembunyikan  pecundang jalanan. Meski hasil padi tahun ini tidak begitu baik, tetapi menyisihkan hasil menanam pagi adalah nilai perjuangan di zaman kemerdekaan.
Ketika panen tiba dan tak menghasilkan apa-apa, petani disalahkan. Ketika hasil berlimpah dan harga  beras murah seolah masa penjajahan hadir kembali. Menemukan warung-warung makan yang siap dengan nasi tak semudah menemukan sahabat sejati. Nasi telah menjadi pangkal kebiadaban penguasa yang tak mau disalahkan. Nasi di berbagai mal itu tidak tersedia lagi, karena petani tak mampu melepaskan kemerdekaan yang terus terkekang.Â
Nasi di berbagai mal itu tidak tersedia lagi, karena petani tak mampu melepaskan kemerdekaan yang terus terkekang.
Karena antrean semakin panjang, sementara persediaan nasi tak lagi mencukupi, orang-orang mulai kehabisan kesabaran. Sebagian mulai berteriak, sebain mulai memancing keributan. Tengah hari saat setiap orang mulai kehilangan kesabaran dan kebijaksanaan, pengunjung mulai meneriakkan kebebasan, segenap pecundang  berteriak kemiskina. Kini, mereka dibersihkan dan diamankan dari teriakan yang siap mencelakai ketika tarian kemiskinan  dipentaskan.Â
Keributan memperebutkan sepiring nasi  telah membuat ketakutan banyak orang yang antre di mal itu. Mal pun mulai bergoyang, orang-orang mulai menggunakan untuk kedengkian. Kini mal telah menjadi tanda kemiskinan baru. Kemiskinan berpikir.
Keributan terjadi. Persediaan makanan saat siang hari pun habis. Kericuan terjadi begitu spontan, tuntutan memperoleh sebungkus nadi untuk memnyambung hidup seolah mereka membuat semakin mengganas. Kericuhan semakin keras dan tak lagi sanggup ditangani.
Ribuan petani hilang dan tak hidup sebagai petani. Â
Keramaian itu semakin menjadi, kericuan semakin dalam. Mereka bertahan untuk mencari nasi sebagai penunjang hidupnya. Semua penghuni mal menyelematkan diri, mencari perindungah. Nasi telah membuat ribuan masyarakat hidup miskin. Miskin karena tak mampu bersaing, tak mampu menyusun membeli bahkan tak mau lagi menjadi petani. Ribuan petani hilang dan tak melanjutkan sebagai petani.Â
Manusia-manusia di kota itu setiap hari lahir. Mereka tak lagi makan nasi, meski lapar keras sekalipun. Nasi-nasi menari-menari, memerdekakan diri.Â
Nasi telah menguasai otak para pendengki.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H