Karena antrean semakin panjang, sementara persediaan nasi tak lagi mencukupi, orang-orang mulai kehabisan kesabaran. Sebagian mulai berteriak, sebain mulai memancing keributan. Tengah hari saat setiap orang mulai kehilangan kesabaran dan kebijaksanaan, pengunjung mulai meneriakkan kebebasan, segenap pecundang  berteriak kemiskina. Kini, mereka dibersihkan dan diamankan dari teriakan yang siap mencelakai ketika tarian kemiskinan  dipentaskan.Â
Keributan memperebutkan sepiring nasi  telah membuat ketakutan banyak orang yang antre di mal itu. Mal pun mulai bergoyang, orang-orang mulai menggunakan untuk kedengkian. Kini mal telah menjadi tanda kemiskinan baru. Kemiskinan berpikir.
Keributan terjadi. Persediaan makanan saat siang hari pun habis. Kericuan terjadi begitu spontan, tuntutan memperoleh sebungkus nadi untuk memnyambung hidup seolah mereka membuat semakin mengganas. Kericuhan semakin keras dan tak lagi sanggup ditangani.
Ribuan petani hilang dan tak hidup sebagai petani. Â
Keramaian itu semakin menjadi, kericuan semakin dalam. Mereka bertahan untuk mencari nasi sebagai penunjang hidupnya. Semua penghuni mal menyelematkan diri, mencari perindungah. Nasi telah membuat ribuan masyarakat hidup miskin. Miskin karena tak mampu bersaing, tak mampu menyusun membeli bahkan tak mau lagi menjadi petani. Ribuan petani hilang dan tak melanjutkan sebagai petani.Â
Manusia-manusia di kota itu setiap hari lahir. Mereka tak lagi makan nasi, meski lapar keras sekalipun. Nasi-nasi menari-menari, memerdekakan diri.Â
Nasi telah menguasai otak para pendengki.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H