Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Saat Asap Hitam Itu Membakar Tubuhku

22 Juli 2023   21:00 Diperbarui: 22 Juli 2023   21:06 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepulan asap (Sumber: Josch 13-Pixabay.com)

Asap. Hitam pekat asap mengepul memenuhi jalanan. Meski tak menyebar, asap yang membubung tinggi kian menebal. Seiring waktu pagi hari mulai memudar, cahaya matahari mulai bersinar, asap pun mulai menguasai sepanjang jalan.

Melewati sebuah desa dalam perjalanan menjemput kehidupan terasa berbeda. Desa kecil dengan rimbun pohon mangga memang terasa sejuk. Meski tumpukan sampah terkadang terbang tertiup angin yang begitu kuat. Semakin hari tumpukan sampah Itu semakin banyak. 

Udara dingin begitu terasa menerpa sepajang perjalanan bersepeda. Suasana masih begitu sepi. Lalu-lalang pekerja belum begitu banyak. Irama pagi masih begitu indah meski hanya tersisa sejenak saat matahari mulai menampakkan jati dirinya. Perjalanan setiap hari memang terasa dipenuhi dengan semangat pantang menyerah untuk terus bekerja menyambut rezeki di hari itu. 

Sepeda yang lusuh pagi itu tetap tersandar dan siap menuju sebuah stasiun kereta yang berjarak dua kilo dari rumah. Hari Sabtu pasti akan lebih lega dan tak banyak yang bekerja. 

Semangat pagi 

Sabtu pagi, bangun pagi penuh semangat. Sepeda telah siap untuk melaju menuju stasiun kereta. Pukul 05.00 sepeda mulai dikayuh dan perjalanan sepanjang jalan sempit beraspal dimulai.  Begitulah rutinitas setiap pagi, mempertahankan kehidupan, tetap bertahan sebagai pemimpin keluarga. Tak kan pupus harapan dan terus dipenuhi kegembiraan. 

Sepeda pun melaju kencang dalam siulan dan lagu yang terus dinyanyikan dalam hati. Doa-doa sejenak terkadang tak sanggup terucap dan hanya tertahan sejenak di dada.  Sambil menikmati perjalanan, berharap segala daya akan selesai pada waktu tersisa. Semangat kerja tak boleh sirna meski tenaga rela menghilang. 

Begitulah rutinitas setiap pagi, mempertahankan kehidupan, tetap bertahan sebagai pemimpin keluarga. Tak kan pupus harapan dan terus dipenuhi kegembiraan.

Perjalanan bersepeda itu tiba-tiba terhenti sejenak. Sebuah perkebunan yang dipenuhi pohon mangga tampak gelap. Tidak seperti biasa suasana di perkebunan itu tampak lesu tak bermakna. Asap hitam membubung tinggi mulai menutupi perkebunan yang biasanya tampak menghijau. Tidak tampak lagi warna kehijauan daun-daun mangga. Tidak tampak lagi lekukan pohon-pohon mangga. Sebuah kebun yang dipenuhi pohon mangga itu tampak menghitam. 

Sepeda tiba-tiba begitu saja terhenti. Langkah kaki sekonyong-konyong tak sanggup tertunda, menuju ke kebun itu sekadar memastikan apa yang terjadi. Tumpukan-tumpukan daun pohon mangga yang mulai mengering itu terbakar. Bukan hanya satu tumpukan daun, puluhan tumpukan itu ternyata terbakar bersamaan dan menghilangkan indah kehijauan pohon mangga. Namun, kepulan asap itu masih begitu lekat. Sesekali api membesar karena tiupan angin begitu kuat.

Kebun tanpa penghuni 

Tak seorang pun tampak di kebun itu. Pemilik kebun tak terlihat. Namun Kebun yang dipenuhi pohon mangga itu semakin pekat tak terlihat. Karena tiupan angin yang semakin kuat, asap pekat pun mulai menghitamkan jalanan. Pengendara semakin banyak, tetapi tak seorang pun peduli dengan asap menghitap yang memenuhi sepanjang perjanalan. Tak seorang pun yang terhenti, orang lewat begitu saja tanpa menghiraukan apapun yang terjadi. Asap itu semakin mengepul tinggi, seolah kebakaran sedang terjadi. 

Tak seorang pun yang terhenti, orang lewat begitu saja tanpa menghiraukan apapun yang terjadi. Asap itu semakin mengepul tinggi, seolah kebakaran sedang terjadi.

Kini, asap yang memenuhi kebun itu hampir menguasai seluruh perkebunan. Semakin pekat asap, semakin menguasai dan membakar tubuhku. Aku tak berdaya untuk menentang dan melawan asap-asap yang mulai menusuk dada dan menghancurkan semangat menyambut indah pagi. Waktuku terhenti, dadaku terhenti, nasibku sesat terhenti. 

Kehidupan yang biasanya terasa dipenuhi kesejukan pagi, hari itu, asap tebal menyuburkan kekesalan yang semakin kuat menusuk raga. Asap itu terasa begitu kuat menempel di sekujur tubuh meski bukan sebagai sahabat. Kehadirannya memupuskan semangat yang semakin terperdaya. 

Asap hitam tumpukan daun kering itu menutupi seluruh tubuhku dan mengantarku kembali ke rumah; dalam kekecewaan dan keputusasaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun