Sepeda tiba-tiba begitu saja terhenti. Langkah kaki sekonyong-konyong tak sanggup tertunda, menuju ke kebun itu sekadar memastikan apa yang terjadi. Tumpukan-tumpukan daun pohon mangga yang mulai mengering itu terbakar. Bukan hanya satu tumpukan daun, puluhan tumpukan itu ternyata terbakar bersamaan dan menghilangkan indah kehijauan pohon mangga. Namun, kepulan asap itu masih begitu lekat. Sesekali api membesar karena tiupan angin begitu kuat.
Kebun tanpa penghuniÂ
Tak seorang pun tampak di kebun itu. Pemilik kebun tak terlihat. Namun Kebun yang dipenuhi pohon mangga itu semakin pekat tak terlihat. Karena tiupan angin yang semakin kuat, asap pekat pun mulai menghitamkan jalanan. Pengendara semakin banyak, tetapi tak seorang pun peduli dengan asap menghitap yang memenuhi sepanjang perjanalan. Tak seorang pun yang terhenti, orang lewat begitu saja tanpa menghiraukan apapun yang terjadi. Asap itu semakin mengepul tinggi, seolah kebakaran sedang terjadi.Â
Tak seorang pun yang terhenti, orang lewat begitu saja tanpa menghiraukan apapun yang terjadi. Asap itu semakin mengepul tinggi, seolah kebakaran sedang terjadi.
Kini, asap yang memenuhi kebun itu hampir menguasai seluruh perkebunan. Semakin pekat asap, semakin menguasai dan membakar tubuhku. Aku tak berdaya untuk menentang dan melawan asap-asap yang mulai menusuk dada dan menghancurkan semangat menyambut indah pagi. Waktuku terhenti, dadaku terhenti, nasibku sesat terhenti.Â
Kehidupan yang biasanya terasa dipenuhi kesejukan pagi, hari itu, asap tebal menyuburkan kekesalan yang semakin kuat menusuk raga. Asap itu terasa begitu kuat menempel di sekujur tubuh meski bukan sebagai sahabat. Kehadirannya memupuskan semangat yang semakin terperdaya.Â
Asap hitam tumpukan daun kering itu menutupi seluruh tubuhku dan mengantarku kembali ke rumah; dalam kekecewaan dan keputusasaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H