Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kampungku dalam Kerinduanku

30 April 2023   07:47 Diperbarui: 30 April 2023   07:59 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kampungku nan elok, 

Kampungku. Ada sebuah kerinduan yang semakin tajam ketika mengenangkan kampung halanan nan elok. Kisah yang tak pernah selsai untuk dirindukan. Kisah ini berawal dan tak akan pernah berakhir. Kampungku dalam kerinduanku.

Cerita kampungku
Genggaman hidup
membelenggu
Merindu

Kisahku
Kisah kampungku
Ceritaku
Hidupku

Kurindu
Kukenang
Perjalananku
Melaju, terus melaju

Kini
Kuhadirkan diriku
Di sana menunggu
Kembali satu

Tiga puluh tahun yang lalu, kampung itu semakin menjauh dari diri yang merantau nan jauh di kota. Kampung yang tidak begitu ramai, di antara jalan besar yang membentang sepanjang Wonosari-Semin, terus memburu dalam kenangan tak usai. Wajak kampung itu terus menjalin kenangan bersamaku.

Kisahku dalam rangkaian cinta 

Disana, di kampungku, tinggal sebuah keluarga yang mulai merayap mencari penghidupan. Aku memulai dan terus memulai, hingga sejenah terlupa akan kenangan di kampung itu. Orang tua menunggu dalam rumah kayu dan tembok-tembok bercat biru. Orang tua selalu bekerja di dalam kelas-kelas sekolah di samping rumah. Sementara yang lain sibuh menuntut ilmu mencari jalan kehidupan yang lain. Keluargaku hidup di kampung yang tak lagi sepi. 

 Satu per satu, penghuni rumah kayu itu mulai merantau, mencari peruntungan di kota-kota besar. Rumah itu pun kembali seperti semula, tahun delapan puluhan berdiri. Rumah itu kembali sepi. Namun, kenangan dalam keluarga, kenangan dengan teman-teman sekitarku tak juga menghilang. Bahkan, ketika libur panjang, rasanya semakin panjag dan dalam. Kerinduan itu tak menyekatku dalam penantian yang begitu pajang. 

Kini, di kampung itu tinggal orang tua; bapak. Ibu dan saudara terakhirnya yang setia tetap pada kampungku. Sebagian hidup kami kini ada di seberang kota, sementara orang tua tetap setia menunggu kampung itu. Namun, kami tak merasakan begitu jauh, kami tak lepas mengingatnya, kami selalu menentinya dalam sebuah telepon yang setiap minggu selalu setia berdering. Aku selalu bercerita dalam segenggam telepon pintar. Kerinduanku pun tak pernah terhenti selesai. 

Usia yang semakin merenta, tubuh yang semakin termakan udara kota, dan tuntutan hati untuk selalu hidup dalam kedamaian rasanya terus menuntun untuk kembali ke kempung itu. Meski kampung itu tak lagi seperti dulu. Kampungku kini menjadi kota kecil yang menerima saja yangmencoba mengadu nasib. Kampung itu menjelma menjadi kehidupan kota dalam beragam penghuni yang datang dari mana saja. Kampungku begitu ramai dalam ragam kerja dan karya manusia-manusia pencari nafkah. 

Perjalanan kehidupanku semakin termakan usia. Semakin lama, semakin bertambah tua dan tak berdaya. Kerinduan akan kampung dalam beragam suasana selalu menghantui dan menusuk kalbu. Akankah kukembali dalam pelukan kampung itu? 

Rumahku dalam kerinduanku (Dokpri)
Rumahku dalam kerinduanku (Dokpri)

Ceritaku dalam rangkulan rindu 

Akar hidupku memang dari kampung yan kini tak lagi menjadi kampung. Sejarah panjang kehidupanku banyak  terekam dalam segala macam peristiwa di kampung itu. Suka duka hidupku lekat dengan sejarah panjang kampung itu. Rasa cinta dan kedamaian tumbuh dalam keluarga kecil di kampung itu. Persahabatan dan kekekluargaan tumbuh dalam rangkaian drama kehidupan dengan orang-orang sekeliling rumahku. Segala peristiwa itu begitu lekat dalam segenap pikiran dan hatiku, semakin mendalam mengakar, menjalar dalam tubuhku. 

Kini, aku terus terlilit dalam batas kerinduan yang tak kan pernah usai. Susana kampungku kala itu hadir kembali memenuhi pikiranku. Apalagi saat hari raya itu, kerinduan itu tak terobati, kami tak sempat untuk menengok kampung tercinta. Semakin tajam rasa kerinduan itu dan mungkin saja akan membeku. 

Kampungku, segenap jiwaku begitu lekat dan tumbuh dalam kerinduanku. Waktu akan terus memburu dan mungkin saja menyatukan aku dan kampungku kembali. Tunggulah aku kembali dan menyatukan hidup kembali. 

Dari yang selalu merindukanmu; Aku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun