Bisa saja, kita memberikan alasan bahwa anak perlu mendapat tantangan, anak perlu mendapat pelajaran yang lebih berkualitas, anak perlu mendapat dorongan agar nantinya mampu bertahan.Â
Namun, mengorbankan seorang anak hanya untuk menjalankan sebuah penjajahan pendidikan rasanya menjadi alasan pembenaran.
Kurikulum Merdeka
Maka, ketika Kurikulum Merdeka hadir sebagai sebuah rona yang mencerahkan, banyak sekolah yang tidak siap untuk mendukung anak-anak secepat mungkin menjemput impiannya.Â
Karena dalam Kurikulum Merdeka, setiap anak sebenarnya mampu untuk menjalani proses pendidikan, anak mempunyai bakat, anak mempunyai karakter, anak mempunyai potensi yang wajib dikembangkan sekolah. Setiap sekolah harus mendukung minat dan bakat setiap anak.Â
Sebagai sebuah kurikulum, sebenarnya Kurikulum Merdeka lebih sederhana dan fokus pada materi penting untuk kepentingan anak. Kemendalaman, kebermaknaan menjadi tujuan setiap materi pembelajaran.Â
Bukan hanya itu, karena fokus kurikulum ini adalah anak, setiap anak pun diberikan kebebasan untuk lebih menentukan minat dan bakat serta aspirasi atas pilihan pelajaran sehingga guru dan sekolah harus menentukan tahap dan capaiannya.Â
Selain itu, kurikulum ini juga secara langsung melibatkan setiap anak untuk untuk ambil bagian dalam berbagai permasalahan atau isu aktual seputar lingkungan, kesehatan, sosial, budaya dan sebagainya.Â
Sangat jelas bahwa jika kurikulum ini diterapkan seratus persen, proses pendidikan yang terjadi di sekolah dan dilakukan guru harus mengikuti minat bakat dan aspirasi si anak. Namun, apakah sekolah dan guru siap melakukannya?
Soal kenaikan saja, misalnya, masih begitu banyak polemik. Jika sekolah mampu melihat minat bakat dan kemampuan siswa, tidak ada istilah seorang anak tidak naik kelas hanya gara-gara tidak mengikuti proses pembelajaran.Â