Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wanita Perkasa Sejuta Pesona

19 Januari 2023   05:15 Diperbarui: 20 Januari 2023   23:04 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi wanita perkasa (dokpri)

Menjadi guru mungkin hanya menjadi satu-satunya pilihan saat itu. Tidak ada pekerjaan lain. Tidak ada harapan lain. Semua seolah membelenggu tujuan nan tak pasti. Dengan sekolah yang tidak befitu tinggi, rasanya menjadi guru menjadi pilihan pasti. 

Guru SD. Ya, seorang wanita yang hari ini sudah mulai menua, keriput ini adalah seorang guru SD. Sebuah pilihan istimewa saat itu. Pilihan terhormat diantara pilihan lain ada. Meski gaji tak seberapa, setiap orang butuh keringat dan pikirannya. Setiap guru harus melalui hari-hari panjang dengan penuh perjuangan. Bahkan, sampai pensiun dan diusinya yang senja. 

Ibu memang menjadi guru pada usia muda saat itu. Belum genap dua puluh tahun. Lulus SPG; sekolah pendidikan guru, sekolah calon guru dalam tingkat menengah, ibu memulai menjadi guru SD di sebuah desa, tanpa listrik, tanpa angkutan umum, tanpa hiburan. Desa miskin dengan beberapa sekolah dasar dan satu sekolah pertama. Ibu bekerja di sebuah SD, empat kilometer dari rumah kayu yang melahirkan aku dan mulai membesarkan aku. 

Mendidik di sekolah dan di rumah

Ibu bukan hanya bekerja untuk sekolah dengan sekian banyak murid. Ibu pun harus mendidik aku dan adik-adikku. Belajar bukan hanya siang, malam, bahkan pagi-pagi pun harus terus belajar. Karena setiap hari ibu selalu banguan pukul 03.00 pagi. Memasak, menyiapkan sarapan, menyiapkan makan siang. Sendiri di dapur, sendiri di belakang rumah yang hanya ditemani perapian dari batu yang mulai dibakar dengan kayu. 

Kesibukan setiap pagi tidak pernah terlewati, tidak pernah tertunda dan tidak pernah terlepas dari begitu banyak kenangan. Dalam dua atau tiga jam, seluruh pekerjaan selesai. Semua telah tersedia di meja makan, dan ketika kami bangun, kegembiraan selalu hadir. 

Masakan favorit ibu adalah nasi goreng, tanpa campuran beragam bahan. Tidak ada telur, tidak ada daging, tidak ada bakso, tidak ada teri. Nasi goreng biasa, tetapi selalu dinanti 3 anak kecil di setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Maka, setiap pagi, kami berempat selalu menghabiskan apa yang selalu dimasak ibu.  

Jam 6.30 biasanya wanita luar biasa di keluarga itu mulai menyiapkan sepeda kesayangannya. Diperiksa ban, diperiksa sadel, tidak ada masalah, ibu pun siap berangkat. Tidak lupa bedak Viva no 7 menghiasi wajah perkasa itu, tas hitam menghiasa langkahnya. Ibu pun berangkat ketika kami juga berangkat. Bapak salalu menjadi tanda bahwa kesibukan kami di keluarga itu berakhir. Kami semua berangkat menyebar ke berbagai sekolah. Rumah dibiarkan kosong tanpa penghuni.

Namun, saat istirahat tiba, ibu selalu pulang dan menyiapkan kami makan. Karena ibu selalu pulang sebelum tengah hari dan kami pulang tidak sampai tengah hari, ibu pun sudah menyiapkan makan siang. Bungkusan dalam 3 plastik tersedia. Kami, biasanya sudah tahu, mana yang menjadi jatah anak nomor 1, nomor 2 atau nomor 3. 

Rutinitas tanpa batas

Usai menyiapkan makan, ibu kembali bekerja. Hari demi hari makan siang tidak pernah terlambat dan mengajar pun tidak pernah telat. Ibu mengajar kami, ibu mengajar sekolah di desa kami. 

Pulang sekolag, kami biasanya dan tidak pernah masuk rumah. Di sebuah ruang belakang dapur, ibu sudah menyiapkan ganti dan makan siang kami. 

Pakaian sekolah kami tanggalkan, dan kami berganti pakaian main. Usai kami makan dari bungkusan plastik itu, biasanya kami langsung bermain. Mencari teman, di rumah tetangga. Mencari kawan di kampung tetangga. Kami bermain kemanapun yang kami bisa menghabiskan waktu. Satu atau dua jam biasanya kami bermain kesana-kemari menghabiskan waktu menunggu ibu. Desa kami saat itu, begitu nyaman, tanpa gangguan. 

Wanita perkasa di rumah kami itu memang sudah menua. Namun, semangatnya tidak pernah menua. Perjuangan hidupnya seolah menjadi pertanda setiap waktu dan setiap saat bagaimana kami harus menjadi pejuang. Rutinitas memang terkadang membosankan dan menyesahkan dada. Ibu menjalaninya bertahun-tahun tanpa henti.

Wanita perkasa itu, kini menjadi energi untuk kami terus menyatukan diri dalam kenangan, harapan, dan syukur yang tak kan terhenti. Wanita perkasa itu selalu hadir dalam hati dan jiwa raga kami. 

Ibu, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun