Usai menyiapkan makan, ibu kembali bekerja. Hari demi hari makan siang tidak pernah terlambat dan mengajar pun tidak pernah telat. Ibu mengajar kami, ibu mengajar sekolah di desa kami.Â
Pulang sekolag, kami biasanya dan tidak pernah masuk rumah. Di sebuah ruang belakang dapur, ibu sudah menyiapkan ganti dan makan siang kami.Â
Pakaian sekolah kami tanggalkan, dan kami berganti pakaian main. Usai kami makan dari bungkusan plastik itu, biasanya kami langsung bermain. Mencari teman, di rumah tetangga. Mencari kawan di kampung tetangga. Kami bermain kemanapun yang kami bisa menghabiskan waktu. Satu atau dua jam biasanya kami bermain kesana-kemari menghabiskan waktu menunggu ibu. Desa kami saat itu, begitu nyaman, tanpa gangguan.Â
Wanita perkasa di rumah kami itu memang sudah menua. Namun, semangatnya tidak pernah menua. Perjuangan hidupnya seolah menjadi pertanda setiap waktu dan setiap saat bagaimana kami harus menjadi pejuang. Rutinitas memang terkadang membosankan dan menyesahkan dada. Ibu menjalaninya bertahun-tahun tanpa henti.
Wanita perkasa itu, kini menjadi energi untuk kami terus menyatukan diri dalam kenangan, harapan, dan syukur yang tak kan terhenti. Wanita perkasa itu selalu hadir dalam hati dan jiwa raga kami.Â
Ibu,Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H