Sebagai transportasi umum yang mendukung seluruh aktivitas masyarakat kota terutama dalam mengadu nasib di Ibu Kota, kebijakan ini dianggap tidak masuk akal. Bagaimana dalam satu kereta yang sama, fasilitas sama, tujuan sama, kondektur sama, jarak tempuh sama, kita membayar dengan harga yang berbeda.
Ada nasib si miskin yang kaya subsidi, tetapi nasib si kaya yang bisa merana. Ya, begitulah, dalam menikmati angkutan umum pun ternyata kita bisa beda kasta.Â
Kebijakan ini seolah dan tampak begitu adil, baik dan merakyat. Padahal, bisa saja pada kahirnya akan menimbulkan kecemburuan; cemburu tidak bisa menjadi orang kaya, atau malu mendapat label miskin. Label kaya, label miskin pada khirnya menandai nasib seseorang di Ibu Kota.Â
Arah KebijakanÂ
Memang tarif KRL telah 5 tahun tidak naik, sementara subsidi begitu besar tidak dapat dihindarkan. Namun, kebijakan tanpa arah dan pertimbangan pasti pada akhirnya akan merugikan Pemerintah sendiri. Padahal tarif sebenarnya bisa saja dinaikkan dalam kurun waktu tertentu, misalnya setiap dua atau tiga tahun.Â
Tidak dinaikkan begitu besar ketika 5 tahun atau 10 tahun belum naik. Jika masyarakat tahu kapan harga tiket naik, tentunya pengguna moda ini tidak akan kaget.Â
Pemerintah mungkin perlu belajar dari pengusaha mie ayam atau bakso. Bisa kita lihat, bahwa banyak penjual mie ayam atau bakso yang selalu menaikkan harga setelah lebaran selesai, meski hanya lima ratus rupiah atau seribu rupiah.
Harga baru ini tidak membuat pelanggan enggan makan lagi, karena setiap waktu selalu menilai; harga naik wajarlah, apalagi hanya segitu. Padahal, ketika lima tahun bisa jadi sudah naik 5000 rupiah.Â
Memang bisa saja, sebenarnya tarif itu berbeda. Beberapa tahun yang lalu, sebelum KRL berkembang pesar seperti sekarang ini, KRL Bekasi-Kota pernah dibuat dalam dua jalur yang berbeda. KRL ekonomi; tanpa AC, berhenti di setiap stasiun, dan berjalan tanpa ditutup pintunya - dilayani KRL dari stasiun Bekasi ke stasiun Jakarta Kota melalui stasiun Pasar Senen, dengan harga ekonomi pula, murah meriah.Â
Sementara kereta yang lebih nyaman, ber-AC dan hanya berhenti di beberapa stasiun, saat itu melayani penumpang dari stasiun Bekasi ke stasiun Jakarta Kota melalui stasiun Gambir, dengan harga 10 kali lipat KRL Ekonomi.Â