Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menyesuaikan Tarif, Menyesakkan Nasib

7 Januari 2023   22:56 Diperbarui: 17 Januari 2023   08:06 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang KRL Commuterline berpindah tujuan kereta di stasiun transit Manggarai, Jakarta, Minggu (29/5/2022). (ANTARA FOTO/PARAMAYUDA via KOMPAS.com)

Tahun 2022, tersiar kabar resesi ekonomi mulai melanda sebagian negara di dunia. Tahun, 2023, bahkan resesi ekonomi bisa saja akan lebih menghamtam sebagian negara-negara yang kuat secara ekonomi. Peristiwa dan ramalan ekonomi dunia jelas tergambar pada akhir-akhir tahun 2022. 

Pandemi memang telah membawa akibat fatal, terutama bidang ekonomi. Kita beruntung belum merasakan berbagai dampak dari resesi yang dialami berbagai negara.

Di tengah negara berjuang untuk menghadapi resesi tersebut, berbagai kebijakan diambil pemerintah agar sebagai sebuah negara bisa bertahan dari kemerosotan dan kehancuran ekonomi. Usaha keras dan kebijakan tegas menjadi cara utama mempertahankan pemerintahan. 

Akhir tahun 2022, tepatnya, pada 30 Desember 2022, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. 

Penerbitan Peraturan Pemerintah ini menguncang berbaagai penolakan dan kecaman masayarakat dan LSM. Pemerintah tidak bergeming, terus maju pantang mundur. 

Tarif naik KRL

Pada bulan Desember 2022 ini juga, pemerintah berencana menaikkan tarif KRL. Kenaikan tarif ini akan diberlakukan khusus untuk orang kaya.

Sementara tarif untuk orang miskin akan tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah. tentunya rencana kebijakan yang diambil Pemerintah ini pun sontak menimbulkan polemik di berbagai media dan sosial media. 

Padahal, selama ini KRL adalah moda transportasi yang dianggap merakyat; ramah di kantong dan tidak menimbulkan kemacetan di Ibu Kota. 

Pengguna KRL pun beramai-ramai mengajukan keberatan, protes melalui berbagai media sosial. Apalagi kebijakan ini membedakan si miskin dan si kaya. Si miskin dapat subsidi dan si kaya membayar penuh harga tarif.

Sebagai transportasi umum yang mendukung seluruh aktivitas masyarakat kota terutama dalam mengadu nasib di Ibu Kota, kebijakan ini dianggap tidak masuk akal. Bagaimana dalam satu kereta yang sama, fasilitas sama, tujuan sama, kondektur sama, jarak tempuh sama, kita membayar dengan harga yang berbeda.

Ada nasib si miskin yang kaya subsidi, tetapi nasib si kaya yang bisa merana. Ya, begitulah, dalam menikmati angkutan umum pun ternyata kita bisa beda kasta. 

Kebijakan ini seolah dan tampak begitu adil, baik dan merakyat. Padahal, bisa saja pada kahirnya akan menimbulkan kecemburuan; cemburu tidak bisa menjadi orang kaya, atau malu mendapat label miskin. Label kaya, label miskin pada khirnya menandai nasib seseorang di Ibu Kota. 

KRL Jabodetabek (dokpri)
KRL Jabodetabek (dokpri)

Arah Kebijakan 

Memang tarif KRL telah 5 tahun tidak naik, sementara subsidi begitu besar tidak dapat dihindarkan. Namun, kebijakan tanpa arah dan pertimbangan pasti pada akhirnya akan merugikan Pemerintah sendiri. Padahal tarif sebenarnya bisa saja dinaikkan dalam kurun waktu tertentu, misalnya setiap dua atau tiga tahun. 

Tidak dinaikkan begitu besar ketika 5 tahun atau 10 tahun belum naik. Jika masyarakat tahu kapan harga tiket naik, tentunya pengguna moda ini tidak akan kaget. 

Pemerintah mungkin perlu belajar dari pengusaha mie ayam atau bakso. Bisa kita lihat, bahwa banyak penjual mie ayam atau bakso yang selalu menaikkan harga setelah lebaran selesai, meski hanya lima ratus rupiah atau seribu rupiah.

Harga baru ini tidak membuat pelanggan enggan makan lagi, karena setiap waktu selalu menilai; harga naik wajarlah, apalagi hanya segitu. Padahal, ketika lima tahun bisa jadi sudah naik 5000 rupiah. 

Memang bisa saja, sebenarnya tarif itu berbeda. Beberapa tahun yang lalu, sebelum KRL berkembang pesar seperti sekarang ini, KRL Bekasi-Kota pernah dibuat dalam dua jalur yang berbeda. KRL ekonomi; tanpa AC, berhenti di setiap stasiun, dan berjalan tanpa ditutup pintunya - dilayani KRL dari stasiun Bekasi ke stasiun Jakarta Kota melalui stasiun Pasar Senen, dengan harga ekonomi pula, murah meriah. 

Sementara kereta yang lebih nyaman, ber-AC dan hanya berhenti di beberapa stasiun, saat itu melayani penumpang dari stasiun Bekasi ke stasiun Jakarta Kota melalui stasiun Gambir, dengan harga 10 kali lipat KRL Ekonomi. 

Tentunya, masalah moda transportasi di masa lalu dan masa kini memang berbeda. Namun, arah kebijakan moda transportasi umum, seperti KRL adalah memanusiakan pelanggan. Mestinya apapun yang akan dilakukan Pemerintah untuk menyesuaikan tarif KRL, nasib seluruh rakyat akan menjadi pertimbangan utama.

Karena setiap orang yang menggunakan KRL tidak didasarkan pada nasib yang berbeda, tetapi mereka mempunyai tujuan yang sama; bekerja dan bekerja, entah sebagai satpam, tenaga kebersihan, manajer atau direktur sekalipun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun