Tidak jauh dari rumah kakek ada sebuah pasar yang setiap pasaran - Pahing selalu ramai dari pagi hingga siang hari. Pasar itu sudah berpuluh-puluh tahun lalu hadir menyediakan kebutuhan masyarakt sekitar. Kala itu memang pasar masih begitu sederhana, tidak seperti sekarang ini.Â
Satu hal yang selalu istimewa mengenang Pasar Pahing, nama yang diberikan masyarakat sekitar; karena memang hanya ada di setiap Pahing di penanggalan Jawa adalah berbagai makanan tradisional. Semua ada dan tersedia; tiwul, tempe mlanding, tempe koro, tempe kedalai, gudeg gori, gudeg bonggol pisang, gudeg daun pepaya, dan berbagai sayuran. Semua tersedia,Â
Menu Istimewa
Dari sekian ragam makanan di Pasar Karangmojo itu, memang nasi tiwul menjadi begitu istimewa.
Nasi tiwul menjadi pertanda bagaimana masyarakat gunungkidul berjuang untuk tetap hidup di sela-sela kekurangan makan, karena berbagai serangan hama wereng atau tikus saat Itu.
Tiwul kemudian menjadi pertanda bagaimana kampung kami dianggap miskin oleh orang-orang dari daerah lain.
Nasi tiwul akhirnya identik dengan Gunungkidul, identik dengan kemiskinan.Â
Begitulah kami mengenangnya saat itu. Padahal menikmati nasi tiwul adalah menikmati Gunungkidul.
Saat ini makanan nasi tiwul kembali hadir sebagai sebuah kekayaan masyarakat kami. Nasi tiwul diproduksi lebih modern, tiwul hadir diberbagai pusat perbelanjaan di kota-kota besar, tidak hanya di Gunungkidul, bahkan begitu banyak pedagang online yang menyediakan makanan ini.
Kini, tiwul bisa dinikmati sebagai salah satu kekayaan masyarakat Gunungkidul. Kehadirannya menandai, identitas daerah ini bukan sebagai daerah minus dan miskin. Daerah ini menjadi begitu kaya akan tempat wisata, terutama wisata kuliner.