Seri Budaya
tengisnya muringis rerekan kalawan tongtongsot asrang humung, bebengkah humangseh gegembung adulur lawan balung atanrak (hantu  tengis meringis. hantu tetekan bersama hantu tongtongsot menyerang membuat suara keras, hantu bebengkah menyebar, hantu gegembung beriringan dengan hantu balung menari-nari)
Tetiba kok iseng pengin nulis terkait dengan khazanah per-hantu-an di kalangan masyarakat Jawa. Ide tentang postingan ini bermula dengan pertanyaan iseng juga, yaitu mengapa hantu di negara lain terkesan lebih keren, misalnya vampire di dunia barat yang pakaiannya keren dan mahal, pakai jas dll, bandingkan dengan hantu legend di tradisi kita, yaitu hantu pocong.
Dalam postingan ini, kita tidak akan masuk ke dalam perdebatan terkait klenik atau mistik atau takhayul, namun kita akan berbicara soal per-hantu-an dalam dimensi budaya.
Jadi begini, hantu, kenapa di setiap negara bahkan di setiap daerah itu bisa berbeda beda, karena khasanah per-hantu-an itu berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan budaya di masyarakat setempat. Semisal di jaman Majapahit dulu tentu belum muncul hantu suster ngesot atau hantu si manis jembatan ancol misalnya.Â
Kuntilanak juga baru muncul belakangan di era penjajahan Belanda, demikian juga hantu legend, pocong, baru muncul belakangan. Bisa dibilang, berbagai jenis hantu yang muncul di masyarakat adalah perwujudan dari ketakutan dalam masyarakat akan sesuatu yang tak kasat mata yang kemudian melahirkan berbagai jenis hantu menyesuaikan dengan imajinasi masyarakat setempat. Itulah mengapa jenis hantu bisa berbeda beda karena menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri.
Lalu, sejak kapan sebenarnya hantu itu muncul dalam catatan masyarakat Jawa, tentu tidak mudah untuk menjawab hal tersebut, karena memang sumber-sumber tertulis dari masa lalu memang sangatlah terbatas. Sehingga untuk mudahnya ya kita tulis saja bahwa khasanah per-hantu-an telah muncul lama dalam masyarakat Jawa, terbukti bahwa dalam beberapa kakawin dari masa Jawa kuno telah tertulis cerita tentang berbagai macam hantu yang mungkin saat ini nama-nama hantu itu sudah tidak lagi dikenal.
Di awal postingan, kita cuplikkan bait dari Kakawin Sena dari era Majapahit akhir yang menyebut sebagian nama-nama hantu yang dikenal oleh masyarakat Jawa Kuno, yaitu tengis, tongtongsot, bebengkah, gegembung dan balung.
Tengis adalah hantu yang tak berwujud, dan hanya mengeluarkan suara layaknya belalang.
Gegembung adalah hantu badan tanpa kepala.
Balung adalah hantu yang berujud tulang belulang.
Masyarakat Jawa menyebut hantu dengan istilah yang beragam, seperti memedi, dhemit, baureksa, dhanyang. Memedi berasal dari akar kata wedi yang artinya takut, sehingga hantu bagi masyarakat Jawa diartikan sebagai makhluk yang menakutkan.Â
Dhemit berarti halus, sangat kecil, yang berarti dhemit adalah makhluk atau sesuatu yang tak kasat mata atau untuk mudahnya adalah makhluk halus.Â
Sementara baureksa dan dhanyang memiliki makna yang sama yaitu penunggu, hal ini terkait dengan kepercayaan kuno animisme dan dinamisme yang mempercayai tentang roh-roh penunggu suatu tempat seperti penunggu pohon besar, penunggu batu besar dan sebagainya.
Masyarakat Jawa kuno membagi asal usul hantu dalam dua  kategori, yaitu hantu yang memang sejak semula diciptakan sudah berwujud hantu, sementara yang kedua adalah hantu yang aslinya bidadara dan bidadari yang sedang menjalani kutukan karena melakukan kesalahan.Â
Dalam kitab Sudamala diceritakan tentang hantu berbagai jenis yang dipimpin oleh Batari Durga dengan pusat kerajaan hantu di Setra Gandamayit akhirnya kembali berubah menjadi bidadara dan bidadari setelah diruwat oleh bungsu Pandawa yaitu Sadewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H