Belum lama ini netizen mempermasalahkan komentar dua komentator pria yang melecehkan suporter wanita dalam sebuah siaran langsung Liga I.
Ketika Persita Tangerang bertanding melawan PSM Makassar 6 Maret lalu, suporter wanita ikut bersorak. Saat itulah, dua komentator pria mengomentari bagian tubuh suporter wanita sambil tertawa-tawa. Mereka menggunakan candaan yang marak di media sosial dengan formula "ada yang ... tapi bukan....".
Spontan netizen tak terima dengan komentar tak senonoh kedua komentar pria itu. Seorang pengguna Twitter menulis, "Ini mau pake baju ketutup dari ujung kaki sampe ujung kepala pun bakal tetep berakhir dapat omongan kayak gini kalo mental sama mindset-nya masih bobrok."
Pihak O Channel sebagai penyelenggara siaran langsung telah menulis surat permintaan maaf kepada publik. Demikian pula seorang komentator bola yang terlibat kasus ini telah meminta maaf melalui akun media sosialnya.
Bukan yang pertama
Sebenarnya pelecehan terhadap wanita dalam komentar siaran langsung sepak bola bukan pertama kali ini terjadi. Beberapa tahun lalu, ada komentator bola (selalu pria) mengaitkan kemampuan mencetak gol seorang pemain dengan istri sang pemain. Meski maksudnya bercanda, tetap saja komentar itu tidak pantas diucapkan saat siaran langsung yang ditonton jutaan orang.
Sepak bola memang masih jadi dunia kaum pria meski perlahan sepak bola wanita menggeliat. Di Eropa saja, sepak bola wanita masih kalah jauh dalam segi jumlah pemain, suporter, dan sponsor. Komentator sepak bola pun masih didominasi pria. Juga wasit sepak bola. Beberapa pertandingan sepak bola wanita masih dipimpin wasit pria.
Bagaimana mencegah pelecehan terhadap suporter dan pemain wanita?
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana otoritas sepak bola Indonesia bisa mencegah pelecehan terhadap suporter dan pemain wanita oleh komentator sepak bola?
Ada tiga langkah yang perlu dilakukan PSSI dalam sinergi dengan media massa.
Pertama, perlu ditegaskan kembali kode etik jurnalis dan komentator sepak bola. Buat kursus pengenalan dan penyegaran kode etik bagi seluruh komentator sepak bola. Ajang kursus ini juga bisa diisi dengan materi yang bermanfaat bagi para komentator, misalnya tips berkomentar santun tapi tetap menghibur dan pemanfaatan database statistik klub dan pemain sebagai bahan berkomentar.
Kedua, buat kampanye media sosial untuk mendidik jurnalis, komentator, dan pecinta sepak bola dalam memperlakukan setiap orang, juga suporter wanita, dengan hormat.
Tagar semacam "Nonton sepak bola nyaman bagi semua; Hormati wanita= hormati ibunda; Kita sopan, semua aman" dapat digunakan. Ajak pemain top untuk jadi influencer kampanye ini. Â
Ketiga, beri ruang bagi wanita dalam sepak bola Indonesia
Liga Jerman dan Liga Inggris adalah dua contoh liga top dunia yang memberi ruang bagi kehadiran dan peran aktif wanita dalam sepak bola pria. Di kedua liga itu, ada beberapa perempuan yang menjadi wasit dan asisten wasit.Â
Siaran langsung sepak bola pria pun sangat bisa dikomentari oleh wanita. Sayangnya, dalam siaran langsung sepak bola Indonesia, wanita cuma jadi model penarik perhatian. Mengapa PSSI dan media massa tak membuat pelatihan komentator bola bagi wanita?Â
Sebenarnya, sudah ada sejumlah selebritas perempuan yang mampu jadi komentator sepak bola (pria). Tinggal ditingkatkan lagi wawasan dan keterampilan dalam memandu siaran langsung sepak bola.Â
Akhir kata, tentu saja, perlu waktu untuk mengubah kultur sepak bola yang terlampau maskulin agar jadi lebih lembut. Semoga usulan ini didengar PSSI dan media massa Indoensia. Salam sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H