Suhu politik di internal Nahdlatul Ulama (NU) menghangat pasca Musyawarah Nasional (Munas) dan Konfrensi Besar (Konbes) NU yang berlangsung di kantor PBNU beberapa hari lalu. Menghangatnya suhu politik ini tak lepas dari kontroversi penentuan tempat Muktamar NU ke-33 yang akan datang.
Sebagian petinggi NU – terutama elit PBNU – menghendaki Muktamar digelar di Jombang Jawa Timur. Sebagian lain – terutama PWNU dan PCNU luar Jawa- menghendaki Muktamar digelar di luar Jawa. Bahkan PWNU Sumatera Utara (Sumut) dan Nusa Tenggara Barat (Barat) secara resmi dalam Munas minta agar Muktamar NU digelar di dua wilayah tersebut. Alasannya, di dua wilayah itu warga NU belum kuat dan masif sehingga perlu syiar nahdliyah agar dakwah NU meluas. Sementara di Jatim NU sudah kuat dan masif sehingga Muktamar tak perlu digelar di Jombang yang nota bene tempat kelahiran para pendiri NU.
Kenapa masalah tempat Muktamar jadi kontroversi dan rebutan? Sudah jamak kita ketahui bahwa lokasi muktamar sangat strategis dalam pemenangan kandidat ketua umum. Jadi, tarik menarik soal lokasi Muktamar ini tak lepas dari kepentingan kelompok yang bertarung dalam bursa ketua umum Tanfidziyah dan Rais Aam Syuriah PBNU.
Kini polarisasi politik dalam ranah Tanfidizyah mengkristal kepada tiga kekuatan. Yaitu kekuatan Prof Dr Said Aqiel Siradj (ketua umum Tanfidizyah), Dr Muhammad Adnan (wakil RaisSyuriah dan mantan ketua Tanfdziyah Jateng) serta As’ad Said Ali (wakil ketua umum Tanfidziyah dan mantan wakil kepala BIN). Tiga tokoh NU ini disebut-sebut sebagai calon ketua umum Tanfidziyah PBNU.
Sedang polarisasi di ranah Syuriah mengkristal pada dua kekuatan besar yaitu KHA Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus dan KH A Hasyim Muzadi yang akrab dipanggil Abah Hasyim.
Yang menarik, jika dalam muktamar-muktamar sebelumnya pertarungan kandidat ketua umum Tanfidziyah lebih banyak menyita perhatian publik, kini perhatian warga dan pengurus NU justeru banyak tertuju kepada bursa calon Rais Aam. Ini mudah dipahami, karena selain dalam NU kini tak ada figur sentral seperti era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga calon Rais Aam yang muncul relatif berimbang. Pendukung Gus Mus dan Kiai Hasyim sama besarnya.
Memang dua tokoh NU ini punya kelebihan masing-masing. Gus Mus, misalnya, dikenal seagai kiai alim, luas wawasan dan budayawan. Pengasuh Pesantren Raudlatut Talibin Rembang Jateng ini juga dikenal sebagai penulis produktif. Banyak sekali buku penting lahir dari kreativitas Gus Mus.
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini juga dikenal sebagai tokoh sejuk dan sufistik. Paling tidak, ini bisa dilihat dari karya dan ceramah-ceramah Gus Mus yang penuh dimensi tasawuf.
Begitu juga Kiai Hasyim Muzadi. Pengasuh dua pesantren mahasiswa al-Hikam (di Malang dan Depok Jawa Barat) ini selain alim juga dikenal sebagai kiai organisator dan memiliki jaringan luas, baik nasional maupun internasional. Kiai Hasyim juga dikenal sebagai kiai kreatif dan produktif dalam “menghidupkan” NU dengan berbagai program sehingga PCNU dan PWNU terlibat dalam kegiatan produktif nasional secara berkesinambungan. Bahkan Kiai Hasyim inilah yang kali pertama menyosialisasikan dan memassalkan tradisi istighatsah. Ketika Kiai Hasyim menjabat ketua PWNU Jatim, do’a bersama itu disosialisasikan secara masif sebagai program NU Jatim.
Hanya saja berbeda dengan Gus Mus, Kiai Hasyim sangat keras dalam membentengi Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) terutama dari pengaruh Syiah dan Islam liberal. Sedemikian keras sampai ia cenderung “miring” ke “kanan”. Namun sikap keras inilah yang justeru disukai warga NU sekarang mengingat kini arus liberaliasi paham mengalir deras ke dalam NU.
Namun berbeda dengan Gus Mus yang tak pernah terjun ke dunia politik, Kiai Hasyim pernah terlibat dalam politik praktis. Kiai Hasyim pernah jadi calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekanorputri. Faktor inilah yang kadang menjadi catatan bagi para pengurus NU, terutama rival politik Kiai Hasyim. Dalam sejarah NU figur kiai yang menjabat Rais Aam juga banyak yang terlibat dalam politik praktis. KH Wahab Hasbullah, misalnya, dikenal luas sebagai politisi ulung. Mbah Wahab – panggilan Kiai Wahab Hasbullah – selain aktif dalam partai politik juga banyak menjabat dalam struktur pemerintahan seperti anggota DPR, DPA dan sebagainya. Begitu juga KH Bisri Sansuri. Kiai ahli fiqh ini menjabat Rais Aam menggantikan Mbah Wahab. Mbah Bisri – panggilan warga NU terhadap kiai lurus itu – juga aktif sebagai pengurus partai dan menjadi anggota DPR yang sangat disegani.
Begitu juga Gus Dur yang menjabat sebagai ketua umum Tanfidziyah PBNU tiga periode. Kiai yang sangat berjasa membangkitkan ghirah ke-NU-an anak muda sehingga bangga jadi warga NU ini terpilih sebagai presiden RI ke-4 dalam posisi sebagai ketua umum Tanfidziyah PBNU. Gus Dur bahkan dikenal luas sebagai lokomotif demokrasi dan negarawan kondang yang diakui dunia internasional.
Jadi kalau sekarang Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menjabat wakil gubernur Jatim “sambil” jadi ketua PBNU adalah bagian dari sejarah panjang NU. Gus Ipul dan politik bahkan ibarat garam dan asin atau gula dan manisnya. Artinya, Gus Ipul, yang kini gencar memobilisasi pengurus NU untuk kemenangan Gus Mus-Said Aqil, tak bisa dilepaskan dari politik dan NU.
Nah, bertolak dari realitas sejarah itu wajar jika PCNU dan PWNU kini memaklumi posisi Kiai Hasyim yang pernah terlibat dalam politik praktis pada masa lalu. Apalagi Kiai Hasyim kini sudah tak mungkin terjun ke politik lagi mengingat usianya yang sudah sepuh.
Demikinlah, Gus Mus dan Kiai Hasyim kini sama mendapat dukungan besar dari PCNU dan PWNU untuk menerima mandat sebagai Rais Aam PBNU. Namun siapa nanti yang akan terpilih sebagai Rais Aam PBNU, mari kita tunggu suara para muktamirin. Yang jelas, dalam tradisi NU: mari gegeran, gergeran (setelah konflik dan beda pendapat lalu sama-sama tertawa). Wallahua’lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H