Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Itu Hebat kalau Ukurannya Bukan Materi

25 November 2020   18:05 Diperbarui: 25 November 2020   18:35 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Kompasiana.com

Pagi tadi, beberapa kali saya menerima kiriman meme di beberapa grup whatsapp yang saya ikuti.  Sekilas, hebat tulisan itu. 

“Guru memang bukan orang hebat. Tetapi semua orang hebat adalah berkat jasa seorang guru. Slmt Hari Guru”

Meme  tentang Guru di Medsos. Sumber: stiebp.ac.id
Meme  tentang Guru di Medsos. Sumber: stiebp.ac.id

Namun, begitu membacanya, saya merasa kok kurang sreg ya. Lalu pikiran liar saya langsung mengajak saya mengajukan pertanyaan lanjutan.

Apa sih, ukuran “hebat” itu sehingga dengan pedenya si pembuat meme menyatakan bahwa murid-muridnya adalah orang hebat sementara gurunya tidak?

Apakah yang dimaksud hebat itu adalah: murid yang telah menjadi pejabat tinggi, pengusaha sukses, atau artis terkenal? Mungkin yang dimaksud hebat adalah mereka yang kaya raya, banyak disorot media, atau ke luar negeri sama mudahnya dengan pergi ke luar kota?

Terus saya berpikir, lalu bagaimana dengan murid yang akhirnya dengan kesadaran penuh mengambil jalur hidup yang oleh banyak orang dianggap “biasa” dan sekilas Nampak tak ada hebat-hebatnya? Ada yang jadi petani, peternak, atau guru sebagaimana guru mereka atau bahkan seorang ibu rumah tangga.  

Tak ada yang menganggapnya hebat, karena kehidupan mereka secara materi mungkin tidak banyak menghasilkan angka-angka rupiah namun belum tentu tanpa memberikan nilai manfaat yang besar. (Ini berdasarkan pengalaman saya di grup-grup reuni sekolah sehingga saya mengambil kesimpulan demikian.  Mungkin saja saya salah).

Ketika murid menjadi menteri, pengusaha sukses, penyanyi terkenal, maka semua orang menyebutnya orang hebat tanpa pernah mengetahui bagaimana proses yang dia tempuh dalam menggapai “kesuksesan” yang diraihnya itu.  

Lalu, jika ada murid yang hidupnya nampak biasa-biasa saja, tidak memiliki karier yang dibanggakan tapi sebenarnya mereka benar-benar secara sadar  mengambil sikap hidup untuk berkarier di bidangnya agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi lingkungannya, karena menghindari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang banyak – seperti korupsi misalnya.  

Atau seorang wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga karena ingin benar-benar mencurahkan semua potensinya bagi kesuksesan rumah tangga dan anak-anaknya sehingga anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang mengagumkan.  Apakah ini tidak disebut hebat?

Dan seringkali sikap-sikap terpuji tersebut adalah buah dari tauladan yang diberikan oleh guru mereka yang secara kasat mata dilihat oleh muridnya.  Pelajaran sikap hidup terpuji meskipun guru tersebut bukan pengampu mata pelajaran Akidah Akhlaq, Pendidikan Agama, atau pun Pendidikan Budi Pekerti.  Mungkin guru tersebut adalah guru Matematika atau Bahasa Indonesia, namun selama proses pembelajaran, banyak contoh-contoh kebaikan dan motivasi yang diberikan kepada murid-muridnya yang membuat murid-muridnya memiliki sikap hidup terpuji sebagaimana guru mereka.  Apa pun profesi mereka, baik yang terlihat mentereng atau pun yang dianggap biasa-biasa saja.

Maka sesungguhnya, menurut saya, justru para guru itulah sesungguhnya orang yang hebat.  Bertahun-tahun menghadapi murid dengan berbagai latar belakang dan permasalahan, namun dengan kesabaran dan kecerdasannya mampu membuat murid-muridnya tersebut menjadi pribadi hebat, apa pun profesinya.  Beribu karakter yang dia hadapi dengan sabar lalu mampu menjadikan mereka pribadi yang berkarakter terpuji.

Saya punya contoh dua guru yang memberikan teladan kebaikan sehingga ikut mewarnai sikap saya di kemudian hari.  Contoh pertama adalah Ibu saya sendiri, seorang guru Madrasah Ibtidaiyah, yang berpuluh tahun mengajar Mi di dekat rumah.  Ibu bukan tipe guru yang lemah lembut, namun tegas dan kereng (killer istilah sekarang).  Namun sikapnya itu diambil agar pembelajaran berjalan dengan baik dan dilakukan kepada siapa saja tanpa pandang bulu, termasuk kepada anak-anak beliau sendiri yang menjadi muridnya. 

Saya ingat, pada saat saya kelas 4, saya pernah melakukan kesalahan yaitu tidak mengerjakan pekerjaan rumah pelajaran Bahasa Arab.  Hasilnya, saya dihukum lebih keras dibandingkan teman-teman saya.  Ibu juga tidak pernah bermain-main dengan nilai.  Salah satunya adalah melarang anak-anaknya yang diajarnya untuk ikut membantu koreksi ulangan. 

Bacaan Terkait :  Mengadu Domba, Bukan Mengadu Ayam

Justru saat Ibu saya menjadi wali kelas kami, ibu benar-benar menjaga jarak dengan kami sehingga saya tahu nilai raport bersamaan dengan raport murid-murid lainnya.  Teladan Ibu saya yang lain adalah tidak bersifat matere.  Beliau berusaha agar murid-muridnya mudah dalam mengikuti proses pembelajaran tanpa hitung rugi.

Saya masih ingat, saat saya bersekolah di SMA, ibu saya sering minta tolong saya membelikan buku persiapan Ebtanas bagi murid-muridnya di pasar besar karena harganya jauh lebih murah dibandingkan di toko buku sehingga harga yang dibayar murid-muridnya  menjadi lebih murah.  Ibu tidak pernah mengambil keuntungan dari penjualan buku tersebut, dan tak pernah mewajibkan.  

Hal yang saya lihat berbeda di SMA saya saat melihat beberapa guru seolah menjadi agen suatu penerbit buku dengan mewajibkan muridnya membeli buku pelajaran pada mata pelajaran yang mereka ampu.

Guru kedua yang menjadi role model saya adalah Pak Muhadi, dosen pembimbing skripsi saya.  Beliau sangat berkomitmen dengan mahasiswanya, tak pernah menyulitkan kami untuk bertemu beliau serta benar-benar dengan kesabarannya mengoreksi skripsi saya sehingga saya berhasil lulus dengan baik. 

Keteladanan beliau berdua itu kelak cukup berpengaruh ketika saya memilih profesi pengajar termasuk membimbing skripsi/ karya tulis.  Rasanya ada yang salah jika mahasiswa sulit bertemu untuk berkonsultasi dengan kita.  Jika alasannya sibuk, bukankah di awal kita sudah punya komitmen untuk membimbing mereka?  

Juga terasa janggal saat dengan mata kepala sendiri menyaksikan ada teman dosen yang menyindir mahasiswanya yang tidak membawa ‘sesuatu’ saat konsultasi.  Bukan sesuatu yang pantas ditiru.

Bukti lain bahwa guru itu hebat adalah saat pandemi ini.  Orang tua yang mengeluhkan anak-anak mereka karena pembelajaran jarak jauh yang membuat mereka kelabakan menghadapi anak mereka sendiri yang ternyata sangat menyulitkan dan membuat stres.  Padahal PJJ belum ada setahun. Tidak terbayang bukan bagaimana para guru tersebut menghadapi banyak murid yang sedemikian rupa bertahun-tahun di tengah permasalahan pribadi yang juga sedang mereka hadapi?

Tapi itu semua tergantung sudut padang kita dan definisi kita dalam memaknai kata “hebat” itu sendiri.  Harapannya sih, semoga kita memandang segala sesuatu bukan berdasarkan ukuran materi kebendaan, melainkan dengan ukuran karakter yang terpuji.  Apa pun profesi dan kondisi perekonomian mereka.  Karena itu semua akan membawa manfaat bagi mereka, orang-orang sekitarnya serta bangsa kita pada akhirnya.

Tangerang Selatan, 25 November 2020. 

Ditulis khusus untuk Hari Guru.  Selamat Hari guru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun