Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Itu Hebat kalau Ukurannya Bukan Materi

25 November 2020   18:05 Diperbarui: 25 November 2020   18:35 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Kompasiana.com

Dan seringkali sikap-sikap terpuji tersebut adalah buah dari tauladan yang diberikan oleh guru mereka yang secara kasat mata dilihat oleh muridnya.  Pelajaran sikap hidup terpuji meskipun guru tersebut bukan pengampu mata pelajaran Akidah Akhlaq, Pendidikan Agama, atau pun Pendidikan Budi Pekerti.  Mungkin guru tersebut adalah guru Matematika atau Bahasa Indonesia, namun selama proses pembelajaran, banyak contoh-contoh kebaikan dan motivasi yang diberikan kepada murid-muridnya yang membuat murid-muridnya memiliki sikap hidup terpuji sebagaimana guru mereka.  Apa pun profesi mereka, baik yang terlihat mentereng atau pun yang dianggap biasa-biasa saja.

Maka sesungguhnya, menurut saya, justru para guru itulah sesungguhnya orang yang hebat.  Bertahun-tahun menghadapi murid dengan berbagai latar belakang dan permasalahan, namun dengan kesabaran dan kecerdasannya mampu membuat murid-muridnya tersebut menjadi pribadi hebat, apa pun profesinya.  Beribu karakter yang dia hadapi dengan sabar lalu mampu menjadikan mereka pribadi yang berkarakter terpuji.

Saya punya contoh dua guru yang memberikan teladan kebaikan sehingga ikut mewarnai sikap saya di kemudian hari.  Contoh pertama adalah Ibu saya sendiri, seorang guru Madrasah Ibtidaiyah, yang berpuluh tahun mengajar Mi di dekat rumah.  Ibu bukan tipe guru yang lemah lembut, namun tegas dan kereng (killer istilah sekarang).  Namun sikapnya itu diambil agar pembelajaran berjalan dengan baik dan dilakukan kepada siapa saja tanpa pandang bulu, termasuk kepada anak-anak beliau sendiri yang menjadi muridnya. 

Saya ingat, pada saat saya kelas 4, saya pernah melakukan kesalahan yaitu tidak mengerjakan pekerjaan rumah pelajaran Bahasa Arab.  Hasilnya, saya dihukum lebih keras dibandingkan teman-teman saya.  Ibu juga tidak pernah bermain-main dengan nilai.  Salah satunya adalah melarang anak-anaknya yang diajarnya untuk ikut membantu koreksi ulangan. 

Bacaan Terkait :  Mengadu Domba, Bukan Mengadu Ayam

Justru saat Ibu saya menjadi wali kelas kami, ibu benar-benar menjaga jarak dengan kami sehingga saya tahu nilai raport bersamaan dengan raport murid-murid lainnya.  Teladan Ibu saya yang lain adalah tidak bersifat matere.  Beliau berusaha agar murid-muridnya mudah dalam mengikuti proses pembelajaran tanpa hitung rugi.

Saya masih ingat, saat saya bersekolah di SMA, ibu saya sering minta tolong saya membelikan buku persiapan Ebtanas bagi murid-muridnya di pasar besar karena harganya jauh lebih murah dibandingkan di toko buku sehingga harga yang dibayar murid-muridnya  menjadi lebih murah.  Ibu tidak pernah mengambil keuntungan dari penjualan buku tersebut, dan tak pernah mewajibkan.  

Hal yang saya lihat berbeda di SMA saya saat melihat beberapa guru seolah menjadi agen suatu penerbit buku dengan mewajibkan muridnya membeli buku pelajaran pada mata pelajaran yang mereka ampu.

Guru kedua yang menjadi role model saya adalah Pak Muhadi, dosen pembimbing skripsi saya.  Beliau sangat berkomitmen dengan mahasiswanya, tak pernah menyulitkan kami untuk bertemu beliau serta benar-benar dengan kesabarannya mengoreksi skripsi saya sehingga saya berhasil lulus dengan baik. 

Keteladanan beliau berdua itu kelak cukup berpengaruh ketika saya memilih profesi pengajar termasuk membimbing skripsi/ karya tulis.  Rasanya ada yang salah jika mahasiswa sulit bertemu untuk berkonsultasi dengan kita.  Jika alasannya sibuk, bukankah di awal kita sudah punya komitmen untuk membimbing mereka?  

Juga terasa janggal saat dengan mata kepala sendiri menyaksikan ada teman dosen yang menyindir mahasiswanya yang tidak membawa ‘sesuatu’ saat konsultasi.  Bukan sesuatu yang pantas ditiru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun