Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Seribu Wajah

21 Oktober 2020   13:28 Diperbarui: 21 Oktober 2020   14:14 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah cukup lama aku di negeri ini, beranak pinak di sini. 

Awalnya, anak-anakku begitu sederhana. Dengan warna-warna sahaja dan polesan seadanya, mereka tampil menyapa orang-orang di negeri ini.  Melalui satu-satunya televisi yang ada, aku mulai melahirkan anak-anakku.  Dengan dana pas-pasan aku berusaha agar anak-anakku lahir cantik dan ganteng.  Meski berpakaian sederhana, tapi anak-anakku nampak sehat dan cerdas.  Dari atraksi mereka, lahir cerita-cerita yang mewarnai negeri ini. 

Awalnya mereka berupa panggung yang dipermak menjadi berbagai macam suasana.  Tapi hebatnya, panggung sederhana itu mampu ditutupi dengan cerita-cerita yang hebat, dialog-dialog yang cerdas, serta pesan yang penuh pelangi yang indah. Cerita-cerita itu bukan cerita tentang mimpi yang indah namun cerita sehari-hari di sekitar mereka.  Hanya saja, cerita sehari-hari itu kami selipi dengan pesan-pesan lembut selembut pelangi. Meski cerita hanya berkisar dialog di antara dua orang sepanjang cerita, tak menghalangi tersampaikannya pesan kami itu.

Cerita yang kami sajikan sangat bervariasi dan aman dinikmati semua kalangan, meskipun kami juga menyajikan sajian-sajian khusus sesuai kelompok penikmat kami.  Untuk anak-anak misalnya, kami sajikan cerita untuk mereka baik berupa dongeng-dongeng maupun kisah hidup yang dimainkan oleh anak-anak juga.  Kami jaga agar tidak keluar kata-kata kasar, adegan berdarah dan cerita yang mudah diterima seusia mereka. Biasanya kami hadir setiap akhir pekan sore.

Untuk keluarga, kami sajikan di Sabtu sore atau hari Minggu pagi.  Isinya berupa obrolan sederhana namun berisi cerita.  Saat kami sudah punya kemampuan melahirkan anak-anak secara berkesinambungan, kami membuat tema yang bisa dinimati semua kalangan, menarik namun tetap memberikan pelajaran hidup.

Ada beberapa kisah yang akhirnya mampu menjadi legenda di negeri ini.  Salah satu rangkaian anak kembar kami yang sangat disukai adalah kisah mengenai satu keluarga yang menjadikan rumahnya sebagai losmen untuk menjadi sumber penghasilan keluarga 1). 

Losmen itu menjadi tempat keluar masuk manusia yang darinya lahir juga cerita-cerita indah yang kami olah menjadi tontonan menarik.  Tampilan anak-anakku ternyata sangat disukai di negeri ini.  Pemain-pemain yang membantu anak-anakku menjadi terkenal dan berpenghasilan tinggi.  Mereka juga akhirnya ditawari keluarga-keluarga sejenis kami, namun hanya menghasilkan pariwara.  Bahkan anak-anak kami juga ditawar untuk dibuat kembarannya menjadi lebih ekslusif dan berkesan wah.

Ada juga kisah hebat mengenai dokter wanita yang cantik, cerdas, berdedikasi dan sangat mencintai pekerjaannya.  Kisah romantisme dengan calon suaminya yang kami padu dengan keteguhan hatinya menerima tugasnya sebagai dokter di desa membuat anak-anak kami yang lahir mingguan itu ditunggu-tunggu penduduk negeri ini seperti anak-anak kami sebelumnya 1). 

Kisah lainnya, yang bernuansa remaja dengan segala konfliknya yang menunjukkan kecintaan pada tanah air ini, juga menjadi tren pada jamannya.  Tentu saja tetap sesuai kriteria sehat kami waktu itu, mengandung unsur pendidikan namun tetap menghibur 1).

Kisah-kisah tersebut membuat penduduk negeri ini menggemari cerita-cerita kami.  Banyak yang berkata bahwa anak-anak negeri ini menjadi lebih baik setelah melihat penampilan anak-anakku.  Kesederhanaan kami tak menghalangi pandangan mereka yang tulus kepada kami.  Meski anak-anakku sederhana, namun mereka cerdas dan bisa memancarkan kecerdasannya ke semua orang.  Meski mereka terlihat kusam dan kumuh, namun kehadiran mereka memberikan cahaya ke semua orang.  Rumah-rumah bercahaya, sekolah-sekolah bercahaya, di ladang, kebun, pantai dan pelosok desa dan kota.  Anak-anak taat pada orang tuanya, rajin belajar dan membantu kerja di rumah.  Remaja-remaja terlihat sederhana, namun mereka cerdas dan kreatif.

Pada awal kelahiranku, aku melahirkan dengan jarak yang cukup jauh.  Kadang-kadang sebulan sekali, bahkan lebih.  Hanya pada saat momen-momen tertentu, aku bisa melahirkan dengan lebih sering.

Pada saat ulang tahun hadirnya rumah tempat kelahiran anakku atau pada saat ulang tahun negeri ini aku mampu melahirkan tiap hari selama seminggu atau dua minggu. Meskipun demikian, anak-anakku tetaplah anak anak yang berkualitas 2).

Bahkan, dalam beberapa kontes tingkat internasional, anak-anakku seringkali menyabet juara. Di antaranya adalah kisah tentang bayi yang disandera klinik tempat ibunya melahirkan karena tidak mampu membayar biaya persalinannya Juga kisah perempuan bisu yang dikhianati suaminya yang akhirnya menjadi terbaik di negeri ini 3). Betapa bangganya aku dan juga orang-orang yang terlibat dalam proses kelahiran mereka.  Aku  semakin bersemangat untuk terus melahirkan dengan jumlah yang makin banyak.

Setelah itu, mulailah masa-masa puncak kesuburanku.  Apalagi sejak munculnya rumah-rumah lain yang menjadi tempat kelahiran anak-anakku.  Dengan dana melimpah, mereka menyediakan fasilitas melimpah agar aku semakin sering melahirkan.  Tak masalah dengan gizi.  Fisik anak-anakku tetap segar, malah makin gemuk dan lincah.  Aku juga sudah mampu memberikan anak-anakku baju baju baru yang indah dan dengan warna menarik.

Hari demi hari saat aku makin sering melahirkan anak-anakku.  Tak henti-hentinya aku melahirkan anak-anakku, beratus-ratus tiap tahunnya. Mulai yang tunggal hingga kembar tiga, kembar tujuh, bahkan kembar ratusan.  Bahkan beberapa tahun yang lalu, aku sempat melahirkan kembar seribu dengan beberapa periode kelahiran.

Serial TVRI
Serial TVRI " dr Sartika". Sumber: Youtube (diunggah TVRI) 

Sayangnya, aku mulai merasa ada yang kurang dari anak-anakku.  Memang,mereka terlihat sehat dan gemuk.  Baju mereka bagus, tingkah mereka lincah.  Namun ada yang aneh.  Anak-anakku semakin terlihat mirip satu sama yang lain.  Matanya, hidungnya, mulutnya, bahkan kakinya.  Cara berjalan, melihat, memegang, merasakan juga mencium.  Dan yang terakhir adalah cara bercerita. Seragam persis.

Anak-anakku seperti barisan pemimpi yang bercerita mimpi-mimpi.  Sama sekali tak indah karena saking terlalu seragamnya.  Cerita-cerita yang disampaikan anak-anakku begitu membosankan, dan tak bisa memberikan kebaikan kepada penduduk negeri ini.  Cara berceritanya juga terlalu kasar dan bertele-tele. Akhirnya pesannya tertutupi oleh cara berceritanya serta kemasan yang kami gunakan. 

Bahkan akhirnya,  cerita mereka membuat anak-anak negeri ini menjadi pemalas dan pemimpi. Antara satu orang dengan yang lain, satu kampung dengan yang lain bahkan antara satu daerah dengan yang lain menjadi saling membenci dan berkelahi.  Anak-anak menjadi berani kepada orang tuanya.  Bapak memperkosa anak. Anak memaki Ibu. Bahkan, mata anak-anak yang indah pun menjadi makin menyeramkan karena selalu melotot ke sana sini.  Mungkin ini karena diajari anak-anakku yang memperlihatkan mata yang besar dan menyeramkan saat marah untuk menunjukkan sifat-sifat orang yang jahat.

Setan dan hantu bergentayangan melalui cerita kami. Awalnya cukup menyeramkan dan harus mendapatkan pujian.  Tapi lama-lama menjadi aneh. Cerita menjadi tak wajar dan terlihat dipaksakan.  Cerita lucu juga begitu.   Dari dialog cerdas akhirnya berubah menjadi makian-makian tak pantas.  Kata-kata seputar kebun binatang dan kamar belakang menjadi hidangan sehari-hari.  Saling cela dan pukulan kasar agar terlihat lucu tak jarang membuat penduduk negeri ini menjadi jengah.  Beberapa orang yang terlibat kelahiran anakku yang bersikap seperti itu akhirnya seringkali harus berurusan dengan pihak keamananan negeri ini.

Penduduk yang semula merindukan kami dan selalu menunggu-nunggu kehadiran anak-anak kami mulai bosan dan muak.

Mereka, terutama yang terpelajar, mulai mengeluarkan uneg-unegnya baik melalui tulisan atau melalui jalan-jalan.      Mereka mengecam anak-anak kami serta orang-orang yang terlibat pada kelahiran mereka, terutama pemilik rumah tempat kelahiran anak-anak  kami.  Mereka menuduh kami memanfaatkan anak-anak kami untuk mendapatkan keuntungan semata.  Kami dianggap sudah jauh dari tujuan semula, mengajari negeri ini dengan kebaikan sekaligus memberikan hiburan.

Meski begitu, kami seperti gagu dan tuli.  Aku tetap melahirkan anak-anakku yang kembar dan menyebalkan itu. Aku sendiri seperti sudah terpasung dengan pemilik-pemilik rumah itu.  Mereka menjadi sangat berkuasa dalam menentukan bentuk anak-anak kami.  Meski aku sudah letih dan bosan melihat anak-anak kembar kami itu, aku tetap dipaksa terus untuk melahirkan jika anak-anakku masih laku menarik sebagian penduduk meski penduduk yang lain mencaci kami.

Orang-orang yang terlibat dengan proses kelahiran anak-anak kami pun bukannya tak pernah protes.  Mulai dari orang yang merancang bentuk anaku sampai orang yang yang terlibat langsung dalam proses kelahiran, semua tak pernah berhenti protes.  Tapi pemilik rumah itu seolah tak mau disalahkan.

Mereka terus memerah kami seperti sapi perah.  Tiap hari makin banyak anak-anak kami yang lahir, gemuk dan sehat, namun: membosankan karena seragam dengan kualitas yang memprihatinkan.

Suatu ketika, beberapa rumah kelahiran itu mendatangkan sejenis kami dari negeri lain.  Seharusnya ini membuat para pemilik rumah itu serta orang-orang yang terlibat di dalamnya  menjadi lebih kreatif dalam memproses kelahiran anak kami. Yang dihasilkan dari luar negeri itu sungguh menawan. Banyak macamnya dan tidak membosankan.  Menghibur dengan kualitas hiburan yang mengagumkan.  Dari kisah keseharian, kisah kerajaan, bahkan kisah siluman.  Bahkan sebuah kisah tentang perjuangan dayang   untuk membuktikan bahwa mendiang ibunya tidak bersalah sampai membuat dia mempelajari praktek pengobatan hingga menjadikannya tabib wanita kerajaan pertama dalam sejarah negeri itu menjadikan tontonan itu sangat digemari dan diputar berulang-ulang. 4)

Sayangnya, ini tidak dijadikan pemilik rumah itu untuk menghasilkan anak-anak kami yang lebih baik.  Justru akhirnya, sungguh aku sendiri tidak tahu, anak-anak kami menjadi mirip mereka. Tapi hanya wajahnya, tampilannya, bukan kualitasnya.  Hanya ide besar namun kelahirannya diproses seadanya. Diambil yang mudah-mudah saja, sementara yang memerlukan kerja keras dan keterampilan tingkat tinggi, justru dihindari.  Termasuk kisah tabib wanita kerajaan tadi.

Sampai akhirnya, kami terkena batunya.  Memang, yang mengharapkan kelahiran anak kami tetap ada.  Yang menjadikan kami hiburan tetap ada.  Satu dua yang membuat kami dengan kualitas istimewa juga masih ada.  Tapi, karena anak-anak kami yang membosankan tadi, meski kukatakan sekali lagi masih ada satu ada terkecuali, penggemar kami mulai menurun.  Orang-orang mulai mencari alternatif hiburan lain.  Bentuk yang lain.  Bahkan rumah yang lain selain televisi.  Semakin banyak jumlahnya, sehingga kami makin tersisih dan orang semakin tak perduli pada kami.

Tak ada lagi yang mengahrapkan kami lagi, kecuali sedikit.  Kami dianggap tak berguna, tak bermanfaat.  Beracun. Dan aku sadar, suatu saat jika tak ada perubahan, perlahan-lahan kami akan musnah tergerus jaman.  Jika kami tidak berbenah, kami harus menghentikan kelahiran dan hanya menjadi kenangan. Tak ada anak-anak kami lagi, si pemilik seribu wajah. Hanya menjadi fosil kehidupan ini yang akan diceritakan generasi mendatang. 

Nanti para orang tua akan berkata pada anaknya:

"Dulu kala, ada tontonan menarik bernama sinetron......"    

Atau kami perlu berpindah rumah, bukan televisi lagi, agar kami tetap eksis sampai nanti?           

Tangerang Selatan 21 Oktober 2020.

Catatan:

  1. Bagi generasi TVRI tahun 1980=an tentu mengenal sinetron (dulu disebut Drama Televisi) "Losmen", "Dokter Sartika", "ACI (Aku Cinta Indonesia, meskipun juga merupakan kepanjangan dari nama tokoh sinetron tersebut Amir, Cici, dan Ito).  Sinetron seri ini mengawali sinetron seri di Indonesia.  Beberapa sinetron sejamannya yang juga terkenal adalah "Keluarga Rahmat" dan "Rumah Masa Depan".  Beberapa tahun kemudian diproduksi karya bermutu lainnya seperti Serial "Jendela Rumah Kita", beberapa mini seri yang diadaptasi dari karya sastra Indonesia klasik  seperti :Siti Nurbaya", "Sengsara Membawa Nikmat" serta "Atheis". Sinetron di atas disajikan sebagai alternatif hiburan yang mengandung unsur Pendidikan secara berseri.   
  2. Sinetron atau kependekan dari Sinema Elektronika, tontonan berbentuk drama/panggung cerita.  Dulu istilah di TVRI dikenal sebagai acara "Drama Televisi".  Sampai dengan lahirnya serial drama, drama diproduksi tunggal, ditayangkan selang-seling dengan Film bioskop (yang biasanya diberi tajuk Cerita Akhir Pekan di malam Minggu sebagai pamungkas acara).  Pada perhelatan ulang tahun TVRI, biasanya diproduksi sinetron (masih tunggal belum berseri) dan diberi tajuk "Sepekan Sinema Elektronika".  MUlai tahun 1980, sinetron berseri muncul di awali "Losmen" dan teman-temannya sebagaimana dijelaskan pada poin 1.
  3. Tahun 1980-an, Indonesia pernah memiliki sinetron kualitas prima yang menjuarai ajang internasional, keduanya dibintangi Neno Warisman, dan disutradarai Irwinsyah (alm), suami Ida Leman-salah satu pemain sinetron "Losmen".   Kisah bayi yang disandera klinik karena orang tuanya tidak mampu membayar biaya persalinannya dan sempat menjadi topik utama media di awal tahun 1980, ditayangkan dalam sinetron "Sayekti dan Hanafi" .  Kisah lainnya, "Aksara Tanpa Kata" mengisahkan perjuangan seorang Ibu di Bali untuk mempertahankan tanahnya dari tawaran investor pariwisata namun menghadapi ancaman menantunya yang akan menceraikan putri kesayangannya (yang bisu) jika tanah itu tidak dijual. Film "Sayekti dan Hanafi" menjadi juara pada festival film di Berlin-Jerman, serta menjadi film televisi terbaik pada ajang FFI tahun 1988.  Tahun 2005, cerita yang sama diproduksi lagi dan menghasilkan banyak nominasi pada Festival Film Vidia tahun 2005 meski hanya meraih satu gelar dari kategori pemeran pendukung wanita.  Sementara itu, Film "Aksara tanpa Kata" merajai festival Piala Vidia tahun 1992 untuk kategori Sinetron Lepas dan menjadi sinetron lepas terbaik    pada tahun tersebut.  
  4. Serial "Dae Jang Geum". serial yang mengisahkan perjuangan Dayang Suh Jang Geum untuk menuliskan kisah ibunya yang sesungguhnya yang meninggal karena difitnah saingan sekaligus (mantan) sahabat ibunya. Serial ini sempat meraih rating di atas 50%, tertinggi waktu itu, dan ditayangkan ke banyak negara karena ceritanya yang sangat menarik. Di Bali, sampai ada restoran bertajuk dan bergambar dayang tersebut.                                                                                                                                                                                                                                                                           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun