Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Seribu Wajah

21 Oktober 2020   13:28 Diperbarui: 21 Oktober 2020   14:14 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka, terutama yang terpelajar, mulai mengeluarkan uneg-unegnya baik melalui tulisan atau melalui jalan-jalan.      Mereka mengecam anak-anak kami serta orang-orang yang terlibat pada kelahiran mereka, terutama pemilik rumah tempat kelahiran anak-anak  kami.  Mereka menuduh kami memanfaatkan anak-anak kami untuk mendapatkan keuntungan semata.  Kami dianggap sudah jauh dari tujuan semula, mengajari negeri ini dengan kebaikan sekaligus memberikan hiburan.

Meski begitu, kami seperti gagu dan tuli.  Aku tetap melahirkan anak-anakku yang kembar dan menyebalkan itu. Aku sendiri seperti sudah terpasung dengan pemilik-pemilik rumah itu.  Mereka menjadi sangat berkuasa dalam menentukan bentuk anak-anak kami.  Meski aku sudah letih dan bosan melihat anak-anak kembar kami itu, aku tetap dipaksa terus untuk melahirkan jika anak-anakku masih laku menarik sebagian penduduk meski penduduk yang lain mencaci kami.

Orang-orang yang terlibat dengan proses kelahiran anak-anak kami pun bukannya tak pernah protes.  Mulai dari orang yang merancang bentuk anaku sampai orang yang yang terlibat langsung dalam proses kelahiran, semua tak pernah berhenti protes.  Tapi pemilik rumah itu seolah tak mau disalahkan.

Mereka terus memerah kami seperti sapi perah.  Tiap hari makin banyak anak-anak kami yang lahir, gemuk dan sehat, namun: membosankan karena seragam dengan kualitas yang memprihatinkan.

Suatu ketika, beberapa rumah kelahiran itu mendatangkan sejenis kami dari negeri lain.  Seharusnya ini membuat para pemilik rumah itu serta orang-orang yang terlibat di dalamnya  menjadi lebih kreatif dalam memproses kelahiran anak kami. Yang dihasilkan dari luar negeri itu sungguh menawan. Banyak macamnya dan tidak membosankan.  Menghibur dengan kualitas hiburan yang mengagumkan.  Dari kisah keseharian, kisah kerajaan, bahkan kisah siluman.  Bahkan sebuah kisah tentang perjuangan dayang   untuk membuktikan bahwa mendiang ibunya tidak bersalah sampai membuat dia mempelajari praktek pengobatan hingga menjadikannya tabib wanita kerajaan pertama dalam sejarah negeri itu menjadikan tontonan itu sangat digemari dan diputar berulang-ulang. 4)

Sayangnya, ini tidak dijadikan pemilik rumah itu untuk menghasilkan anak-anak kami yang lebih baik.  Justru akhirnya, sungguh aku sendiri tidak tahu, anak-anak kami menjadi mirip mereka. Tapi hanya wajahnya, tampilannya, bukan kualitasnya.  Hanya ide besar namun kelahirannya diproses seadanya. Diambil yang mudah-mudah saja, sementara yang memerlukan kerja keras dan keterampilan tingkat tinggi, justru dihindari.  Termasuk kisah tabib wanita kerajaan tadi.

Sampai akhirnya, kami terkena batunya.  Memang, yang mengharapkan kelahiran anak kami tetap ada.  Yang menjadikan kami hiburan tetap ada.  Satu dua yang membuat kami dengan kualitas istimewa juga masih ada.  Tapi, karena anak-anak kami yang membosankan tadi, meski kukatakan sekali lagi masih ada satu ada terkecuali, penggemar kami mulai menurun.  Orang-orang mulai mencari alternatif hiburan lain.  Bentuk yang lain.  Bahkan rumah yang lain selain televisi.  Semakin banyak jumlahnya, sehingga kami makin tersisih dan orang semakin tak perduli pada kami.

Tak ada lagi yang mengahrapkan kami lagi, kecuali sedikit.  Kami dianggap tak berguna, tak bermanfaat.  Beracun. Dan aku sadar, suatu saat jika tak ada perubahan, perlahan-lahan kami akan musnah tergerus jaman.  Jika kami tidak berbenah, kami harus menghentikan kelahiran dan hanya menjadi kenangan. Tak ada anak-anak kami lagi, si pemilik seribu wajah. Hanya menjadi fosil kehidupan ini yang akan diceritakan generasi mendatang. 

Nanti para orang tua akan berkata pada anaknya:

"Dulu kala, ada tontonan menarik bernama sinetron......"    

Atau kami perlu berpindah rumah, bukan televisi lagi, agar kami tetap eksis sampai nanti?           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun