Berbagai macam dampak negatif yang kemungkinan akan hadir bersama dengan hadirnya kegiatan pertambangan di Pegunungan Bintang tidak boleh dianggap sebelah mata. Harus menjadi perhatian yang serius  semua stakeholder untuk meminimalisir terjadinya konflik.
Deanna Kemp dalam Just Relations and Company-Community Conflict in Mining (2010), menyebut sumber konflik di sektor pertambangan berakar pada relasi yang tidak setara antara warga dan korporasi (pengusaha). Hubungan yang tidak setara itu berakibat pada pembagian keuntungan yang tidak adil.
Dalam kajian Deanna Kemp, eskalasi konflik dipicuh oleh kepentingan ekonomi atau ketahanan sumber-sumber penghidupan, akses dan kepemilikan terhadap tanah dan air serta dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas industry ekstraktif.
Selain itu, konflik dapat bersumber pada masalah gender, pelemahan terhadap kohesi sosial dan keyakinan budaya, kekerasan atau pelecehan hak-hak dasar warga (HAM) dan ketidak-adilan dalam distribusi keuntungan.
Berdasarkan model triangle konflik dari Johan Galtung (Miall, H; Rambostham, O& Woodhouse, T, 2005), konflik diilustrasikan sebagai kontradiksi antar semua pihak karena perbedaan kepentingan. Konflik dalam arus ini dipicuh oleh perbedaan kepentingan dalam relasi, kesalah-pahaman (misperceptions), emosi (ketakutan, kemarahan dan kegetiran), pemaksaan, permusuhan, ancaman dan serangan destruktif yang terjadi diantara pemangku kepentingan.
Tensi ketegangan dan konflik dapat meningkat secara signifikan manakala semua pemangku kepentingan tidak mampu membangun sebuah komunikasi dan pemahaman yang baik dan efektif. Perbedaan persepsi dan paradigma yang tajam juga dapat merusak relasi dan meningkatkan konflik.
Huang (2003) menyatakan bahwa kebanyakan konflik pertambangan dipicuh oleh ketidak cocokan persepsi di antara para pemangku kepentingan, apalagi di hadapan realitas kesenjangan yang ditimbulkan oleh ketidak-setaraan dalam pembagian hasil investasi.
Konflik juga bersumber dari sebuah relasi kemanusiaan yang tidak harmonis antar para pihak (Le Baron and Pillay, 2006, 16).Ketika relasi tersebut retak dan sulit terbangun kembali, diperparah oleh perbedaan paradigma, dapat menyebabkan konflik semakin memburuk dan rumit. Pada titik ini, disadari bahwa betapa sulit menemukan pemecahan masalah atau solusi yang tepat. Di tengah pusaran konflik, setiap pihak merasa terluka dan dilukai oleh yang lain.
Dalam perspektif budaya, Stenholm and Jensen (2000) meyakini bahwa perangkat nilai, keyakinan, norma, adat-istiadat, aturan dan kearifan lokal dapat dijadikan perekat sosial di antara satu-sama lain agar memberi rasa nyaman bagi semua yang terlibat dalam konflik tersebut (dikutib dari Cooper et al, 2007: 6).
Di hadapan konflik yang selalui mewarnai sektor usaha pertambangan, segelintir orang berpendapat bahwa konflik tidak selalu destruktif, tetapi memiliki sebuah potensi kekuatan positif yang mengarah pada hasil yang lebih baik pada tingkat komunitas lokal (Bebbington and Burry, 2009; Zandvliet, 2005; Zandvliet and Anderson, 2009). Dalam perspektif ini, semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik semakin menyadari makna keadilan dan kesetaraan, mengerti tentang hak-hak dasar orang lain yang harus dihargai dan diakui. Konflik mendorong semua pihak untuk memahami dan menemukan model dan strategi penyelesaian konflik yang tepat dan bermartabat.
Jadi, salah satu dampak positif dan konstruktif dari sebuah konflik yang terjadi adalah adanya peningkatan pemahaman dan kesadaran baru pada semua pihak. Bagaimana pun, dalam sebuah konflik, semua pihak mengalami peningkatan pengetahuan tentang segala sesuatu yang terkait erat dengan kepentingan kelompok dan hajat hidup orang banyak.