Manusia merupakan makhluk yang paling baik penciptaannya (ahsani taqwim) (QS. 95:4), dalam penciptaannya manusia memiliki dua dimensi yaitu jasmaniah dan rohaniah. Dimensi jasmaniah manusia adalah terpenuhinya kebutuhan material yaitu sandang, pangan, papan, dan lain-lain yang menunjang kehidupannya. Agar terpenuhi kebutuhan ini, manusia mesti bekerja (QS. 9:105). Dengan bekerja maka manusia dapat memenuhi kebutuhannya dan mendapat kepuasan rohani. Dimensi rohani ini merupakan bentuk spiritual yaitu kebahagiaan.
Kebahagian merupakan tujuan dari proses kehidupan manusia. (QS. 2:201) Dalam mencapai tujuan tersebut, manusia melakukan usaha agar mampu memenuhi keinginan itu. Maka usaha itu dilakukan dengan bekerja memenuhi kebutuhannya, dengan bekerja manusia dapat memenuhi segala keinginannya dalam kehidupan, dan dengan bekerja maka kehidupan manusia akan sangat berarti. Dengan melihat seberapa besar usaha manusia bekerja, karena bekerja merupakan manifestasi dari kebahagian tersebut.
Bekerja merupakan sebuah citra dari diri. Dengan bekerjalah seseorang membangun kepercayaan dirinya. Seseorang yang bekerja tentu berbeda dengan pengangguran. Dengan bekerja juga seseorang dipandang terhormat oleh orang lain. Karena dengan tangannya sendiri dia dapat survive dalam kehidupan. Bahkan dalam pandangan Islam yang bekerja dengan baik dia telah melakukan jihad fi sabilillah (QS. 9:105). Maka kerja bernilai tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga bernilai ibadah.
Maka cita-cita tersebut, seorang manusia mesti memiliki semangat kuat yang melandasi usahanya dalam bekerja, inilah yang disebut dengan etika kerja. Etika atau etos merupakan cabang pembahasan filsafat yang membahas tentang baik dan buruknya prilaku manusia yang dikaji dan diklasifikasikan dalam filsafat moral. Etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma dari hasil refleksi pemikiran moral masyarakat yang menjadi objeknya.
Etika merupakan sumber nilai-nilai kebajikan dan keadilan dalam bekerja yang berkaitan dengan realitas moral yang terjadi di tengah masyarakat. Proses sejarah kehidupan manusia terus mengalami perubahan dengan mengikuti zaman. Zaman sekarang berkembang pesat dengan globalisasi. Kemajuan dapat terlihat dari berbagai segi kehidupan, seperti komunikasi, informasi, dan teknologi.
Kemajuan ini membentuk sebuah pola prilaku individual masyarakat yang hedonis, konsumtif, munafik, tidak bertanggung jawab, iri, dengki, tidak sabar, pemalas, dan hal buruk lainnya yang prilaku ini akan menjadi sebuah masalah dalam proses kehidupan manusia.
Tentu menghindari hal ini kita mesti memiliki dasar paradigma etika kerja yang memberi motivasi kepada orang agar bersungguh-sunguh dan bertanggungjawab dalam pekerjaannya. Paradigma merupakan pandangan fundamental yang membantu kita merumuskan jawaban-jawaban dari permasalahan yang dihadapi. Etika dalam Islam berasal dari nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah. Islam berlandaskan dengan konsep kesejahteraan dan keadilan sosial ekonomi yang seimbang antara kebutuhan material dan spiritual. Sehingga munculah perbuatan baik (ihsan) dan terhidar dari perbuatan buruk (sayyiat). Maka manifestasi kebaikan ini terlihat dalam bagaimana manusia bekerja.
Paradigma yang mesti dibangun adalah sebuah kepercayaan yang dilandasi dengan tawhid. Konsep tawhid merupakan pandangan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa, yang telah menciptakan alam semesta, termasuk manusia, kemudian menjadikan manusia sebagai khalifahnya di bumi dalam melaksanakan sunnatullah (hukum-hukum Tuhan/taqdir), yang laksanakan dengan proses usaha kebaikan (ikhtiar) dalam rangka pengabdian dan menyembah kepada Allah. Maka dia menurunkan segala pedoman dalam menjalani kehidupan ini dengan wahyu yang disampaikan oleh utusanNya, orang-orang yang terpilih karena memiliki kesadaran intelektual (ilmu pengetahuan) akan kenyataan hakikat ketuhanan, dalam kitab sucinya, Al-Quran.
Paradigma tawhid menjadikan manusia menyadari eksistensinya di bumi ini dan melaksanakan tugasnya sebagai khalifah (QS. 2:30) Â dan hamba (QS. 51:56). Kesadaran ini mengantarkan manusia bekerja hanya mengharapkan rida Allah, dan penerimaanNya terhadap amal perbuatan manusia. Jika kesadaran ini luntur, maka akan menyebabkan disorientasi tujuan yang hanya ingin kesenangan duniawi saja (syirik).
Penghambaan kepada Allah merupakan bentuk kesediaan manusia dalam perjalanan sejarahnya agar dekat dalam perjumpaan dengan Allah. Penghambaan kepada Allah menegaskan kepada manusia agar menolak apapun yang berpotensi menjadi tuhan-tuhan yang mengganggu perjalanan tersebut (syirik). Penghambaan kepada Allah mengharuskan manusia selalu tulus dalam bekerja dengan cita-cita tertingginya hanya rida Allah semata dan tidak pamrih (ikhlas). Keikhlasan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hidup (QS. 35:10).
Tawhid adalah landasan manusia membebaskan dirinya dari pandangan tradisional. Dalam soal kepercayaan kepada Tuhan, sikap tidak mempercayainya (ateisme) bukan masalah utama, melainkan pandangan politeisme/syirik menjadi masalah utama dalam sejarah manusia, bahkan juga ateisme ini bisa kita katakan bentuk kesyirikan, karena berpotensi mengambil sesuatu selain Allah sebagai tuhan.
Belenggu ini tercipta dari keinginan manusia yang dibangun secara subjektif (hawa al-nafs), yang beimplikasi kepada pandangan eksklusif, mengganggap diri benar sendiri, dan terkurung oleh tirani/dzalim diri sendiri.
Pembebasan manusia yang menjadikan tawhid sebagai dasar pijakan kehidupannya menjadikannya sebagai pribadi yang terbuka, yang kritis dan tanggap dalam memecahkan masalah-masalah sosial. Sikap ini merupakan bentuk ketulusan dan tanggungjawabnya atas keyakinannya dan kerja yang dilakukannya dalam kehidupan ini yang memunculkan rasa keadilan dan perbuatan kebaikan untuk sesama manusia (ihsan).
Keterpurukan dalam pembangunan sosial ekonomi terjadi karena menguatnya paham tradisionalisme yang membelenggu cara pandang berpikir kita. Pemikiran itu berbentuk dikotomi antara ibadah (ukhrawi) dan kerja (duniawi). Sehingga kedua hal ini dianggap dimensi yang berbeda. Maka dalam pandangan tradisioalis salah satunya akan diprioritaskan, apakah ibadah saja atau kerja saja. Cara pandang ini membuat etos kerja kita berkurang. Yang semestinya adalah bahwa kerja merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan ibadah. Kerja merupakan muamalah yang masih dalam kerangka ibadah. Kemudian Islam sangat membenci seseorang yang lemah dan malas, berputus asa, tidak memiliki motivasi, mental yang kuat dalam bekerja. Dan juga orang yang hanya berorientasi kehidupannya kepada kehidupan akhirat dan melupakan kebutuhan hidupnya di dunia.
Etika kerja dengan paradigma tawhid merupakan landasan kepercayaan yang kuat dalam menyeimbangkan kehidupan manusia. Dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia (QS. 30:30). Karena kedua hal tersebut menciptakan keharmonisan dalam kehidupan, dan berpotensi menghasilkan kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Dalam konsep al-Islam, kehidupan kita sebagai manusia bermaka sangat dinamis, yaitu dengan pengertian bahwa proses kehidupan manusia mengantarkannya menuju puncak spritualitas (kepuasan rohani). Maka segala pekerjaan manusia mesti merasionalisasikan agar tidak terjerumus kepada salah satu dari keduanya.
Paradigma tawhid mengantarkan manusia agar mampu memformulasikan sebuah etika kerja yang selaras dengan tujuan penciptaannya, yaitu sebagai khalifah di bumi dengan beribadah semata-mata hanya kepada Allah (ikhlas). Pada level kesadaran ini maka manusia dengan senantiasa melakukan kerja kebaikan dan tidak menjadikan perintah berbuat baik menjadi beban dalam kehidupannya, sehingga dia bahagia dalam proses kehidupannya, dan menjalaninya dengan tulus dan penuh tanggungjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H