Belenggu ini tercipta dari keinginan manusia yang dibangun secara subjektif (hawa al-nafs), yang beimplikasi kepada pandangan eksklusif, mengganggap diri benar sendiri, dan terkurung oleh tirani/dzalim diri sendiri.
Pembebasan manusia yang menjadikan tawhid sebagai dasar pijakan kehidupannya menjadikannya sebagai pribadi yang terbuka, yang kritis dan tanggap dalam memecahkan masalah-masalah sosial. Sikap ini merupakan bentuk ketulusan dan tanggungjawabnya atas keyakinannya dan kerja yang dilakukannya dalam kehidupan ini yang memunculkan rasa keadilan dan perbuatan kebaikan untuk sesama manusia (ihsan).
Keterpurukan dalam pembangunan sosial ekonomi terjadi karena menguatnya paham tradisionalisme yang membelenggu cara pandang berpikir kita. Pemikiran itu berbentuk dikotomi antara ibadah (ukhrawi) dan kerja (duniawi). Sehingga kedua hal ini dianggap dimensi yang berbeda. Maka dalam pandangan tradisioalis salah satunya akan diprioritaskan, apakah ibadah saja atau kerja saja. Cara pandang ini membuat etos kerja kita berkurang. Yang semestinya adalah bahwa kerja merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan ibadah. Kerja merupakan muamalah yang masih dalam kerangka ibadah. Kemudian Islam sangat membenci seseorang yang lemah dan malas, berputus asa, tidak memiliki motivasi, mental yang kuat dalam bekerja. Dan juga orang yang hanya berorientasi kehidupannya kepada kehidupan akhirat dan melupakan kebutuhan hidupnya di dunia.
Etika kerja dengan paradigma tawhid merupakan landasan kepercayaan yang kuat dalam menyeimbangkan kehidupan manusia. Dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia (QS. 30:30). Karena kedua hal tersebut menciptakan keharmonisan dalam kehidupan, dan berpotensi menghasilkan kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Dalam konsep al-Islam, kehidupan kita sebagai manusia bermaka sangat dinamis, yaitu dengan pengertian bahwa proses kehidupan manusia mengantarkannya menuju puncak spritualitas (kepuasan rohani). Maka segala pekerjaan manusia mesti merasionalisasikan agar tidak terjerumus kepada salah satu dari keduanya.
Paradigma tawhid mengantarkan manusia agar mampu memformulasikan sebuah etika kerja yang selaras dengan tujuan penciptaannya, yaitu sebagai khalifah di bumi dengan beribadah semata-mata hanya kepada Allah (ikhlas). Pada level kesadaran ini maka manusia dengan senantiasa melakukan kerja kebaikan dan tidak menjadikan perintah berbuat baik menjadi beban dalam kehidupannya, sehingga dia bahagia dalam proses kehidupannya, dan menjalaninya dengan tulus dan penuh tanggungjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H