Perkembangan sejarah manusia menciptakan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai landasan berfikir ideologis dalam prilaku etisnya, dan tindakan politik dalam eksistensinya dalam sosial. Kemudian perkembangan sejarah melahirkan dinamika perbedaan ideologi, paham, pemikiran dan pandangan dalam wujud problem sosial dalam kehidupan manusia.Â
Dalam perjalanan pembangunan bangsa Indonesia, terdapat desakan nilai-nilai sosial yang berakibat terhadap terbentuknya degradasi moral yang ditengarai dengan proses globalisasi yang merupakan keniscayaan sejarah.
Kebudayaan di Indonesia secara umum lekat dengan simbol-simbol keagamaan, dalam arti memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, ternyata dapat dipengaruhi gelombang modernisasi ini.
Fakta sosial menunjukkan kuatnya penetrasi gelombang tersebut dalam bidang sosial dengan tumbuhnya sikap individualistik yang ditandai dengan melemahnya kepedulian dan solidaritas sosial, tumbuhnya budaya komsumerisme dan materialisme, merebaknya prilaku hedonistik di kalangan generasi muda, yang mengakibatkan rusaknya tatanan budaya sosial kita yang mewariskan kebersamaan, gotong royong, toleransi terhadap multikultural, disorientasi nilai-nilai keberagamaan.Â
Kondisi ini menciptakan kepribadian ganda yang melahirkan stigma split personality, kekeliruan tentang jati diri. Kondisi ini menjadi sangat parah dengan mengakarnya korupsi, kekerasan sosial, kejahatan seksual, kapitalisme, yang merupakan wujud penindasan dan ketidakadilan sosial.
Hal diatas mesti diselesaikan, akan bertambah parah jika tidak. Upaya filterisasi terhadap perkembangan sejarah mesti dilakukan. Kita tidak bisa menolak mentah-mentah perubahan, karena arus ini secara positif mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dna tenologi. Tinggal bagaimana menangkal pengaruh negatifnya.Â
Upaya tersebut adalah revitalisasi nilai-nilai sosial yang bersumber dari ajaran agama yang diyakini, dalam konteks bahasan kita tentang ajaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari al-Qu'an dan Hadist. Yang dapat dikatakan revitalisasi adalah menyemarakkan kembali semangat atau daya hidup setelah mengalami masa-masa kemunduran dan kemerosotan. Dan revitalisasi nilai-nilai tersebut dikaitkan dengan konteks kekinian.
Dasar nilai-nilai sosial dalam kerangka keislaman adalah Tauhid. Menurut Ali Syariati, tauhid merupakan world view yang bersifat mistis-filosofis dalam melihat realitas kosmis alam semesta tanpa adanya dikotomisasi.Â
Semuanya adalah kesatuan dalam trinitas antara Tuhan, manusia dan alam. Realitas sosiologis umat yang jatuh akibat keterbelakangan selama beberapa abad yang berakibat lemah rasa dalam kepercayadirian menghadapi superioritas peradaban barat, menurut Hassan Hanafi membutuhkan pemahaman tentang dimensi Ketuhanan (Tauhid) yang ditransformasikan untuk mengokohkan eksistensi kemanusiaan dalam relatitas kehidupan, dengan melakukan derivasi sifat-sifat Tuhan melahirkan nilai-nilai kemanusian yang dilakirkan dari sikap ikhlas kepada Tuhan dalam proses ikhtiar kehidupannya, sehingga mewujudkan kesejahteraan manusia.
NDP merupakan gambaran ideologis Islam. Menjadkan kerangka ini mendobrak pola-pola tradisi yang menghambat peradaban. Madzhab ideologis yang dipaparkannya menentang pola agama yang di konsepsi oleh Emile Durkheim sebagai bentuk keyakinan warisan, karena jika pola agama yang bersifat pengetahuan kultural ini tetap dijalankan, mengakibatkan tidak adanya daya nilai-nilai dan kekuatannya melalukan gerakan, komitmen dan tanggungjawab serta kesadaran sosial, sehingga efeknya seperti yang telah kita paparkan di atas, yang pola seharusnya adalah merupakan manifestasi dari semangat ideal akan kemanusian sejati.
Maka dalam kerangka ini, Tauhid adalah nilai universalitas dalam memandang dunia mesti dijadikan pondasi dasar. Karena kehidupan ini adalah bentuk ketunggalan dan tidak ada diskriminasi didalamnya atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuasaan, dan lainnya. Sehingga gerakan sosial kita membentuk pola melawan tindakan-tindakan syirik dalam bentuk thagut/penindasan dan dzalim/ketidakadilan terhadap kemanusiaan, karena melawan nilai ketuhanan.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi kepemudaan yang melakukan upaya kaderisasi dalam pembinaan kualitas insan yang memiliki kemampuan intelektual profesional yang tercerahkan, berkontribusi aktif dalam masyarakat dengan karakter yang merupakan cerminan nilai-nilai Islam yang berpegang pada Al-Qu'an dan Hadist yang diwudkan dengan implementasi dalam kehidupan sosialnya. Sehingga Islam dijadikan sebagai asas dalam pijakan organisasi.
Kiprah sejarah HMI dalam perjalanan kehidupan sosial dan kebangsaan tidak lepas dari konstribusi intelektual didalamnya. Kita bisa sebut dalam konteks pemikiran ideologis aktor utama kita adalah Nurcholis Majdid (Cak Nur).Â
Corak pemikiran keislaman Cak Nur, yang beliau tuangkan dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), menjadi rujukan dalam pembangunan ideologis di tubuh HMI. Sehingga ketokohan Cak Nur menjadi kritik oleh beberapa tokoh HMI karena ketergantungan kader HMI terhadap pemikirannya, sehingga muncul ide formulasi NDP HMI, yang kemudian ide tersebut menjadi upaya rekonstruksi teks NDP.
Sebagai ideologi yang menciptakan world view yang kokoh dan dinamis, NDP mestilah dikritisi. Tapi menurut hemat kami bukan memunculkan konteks NDP yang baru, karena kerangka NDP tulisan Cak Nur dibagun dengan nilai-nilai universilitas Islam dalam konteks iman, ilmu, dan amalnya yang menjadi hal yang realistis adanya. Yang mesti dikritisi adalah dalam analisis sosial kader yang melakukan revitalisasi terhadap nilai-nilai sosial yang dipahami dalam NDP.
Dengan demikian, semestinya kerangka pemikiran ini tidak usang, karena akan menjadi jawaban atas tuntutan bagi setiap Muslim menjadi intelektual tercerahkan, yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
*Sebagai Pengantar Diskusi di HMI Komisariat (p) FISIP UIN RF Cabang Palembang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H