Sejak memutuskan menulis kembali karya fiksi pada September 2021, tak pernah terpikirkan saya ikut sebuah program lomba menulis cerpen setiap hari selama 20 hari full! Ya, setiap hari menulis cerpen!
Herannya kok saya ya mau aja daftar? Haha. Seperti tahun lalu saya daftar Program Menulis Novel dalam 30 Hari (30DNS - 30 Days Novel Sprint), padahal belum pernah nulis novel. Wong wuueeddaann!
Awalnya tentu ragu dong saya ikut program ini! Wong, menulis satu cerpen saja saya bolak-balik revisi. Bagaimana harus setor setiap hari dengan dead-line pukul 20.00? Padahal saya masih ada kerjaan lain yang harus dituntaskan setiap hari juga.
Keraguan saya sebelum ikut program ini ternyata memang beralasan! Karena saat mulai menjalani program ini, ternyata menulis cerpennya lebih sulit dari yang saya bayangkan.Â
Ini bukan sekadar menulis sat-set sat-set jadi cerpen! Program ini mengharuskan peserta menulis cerpen dengan tantangan yang berbeda-beda setiap pekan.Â
Oiya, program yang diberi judul Menulis Bareng Elfa (MBE) WRITING CHALLENGE ini memang berlangsung selama hari kerja saja (Senin - Jum'at), Sabtu - Minggu libur. Persis seperti orang kantoran. Durasinya empat minggu, jadi bisa dihitung sebulan. Mungkin bisa dibilang seperti menulis cerpen gaya kantoran. Hehe.
Plek-ketiplek
Kembali ke tantangan tadi. Jadi, kami para peserta yang berjumlah 20-an penulis dihadapkan pada tantangan yang unik. Misal, peserta diharuskan menulis cerpen dengan satu atau dua kata yang harus ditempatkan di dalam cerpen kami di paragraf dan baris mana pun. Tantangan pekan pertama ini memang belum terlalu sulit.
Ketika masuk ke pekan-pekan berikutnya bikin mumet kepala saya dan beberapa peserta lain. Bayangkan kami ditantang membuat cerpen dengan menempatkan satu kalimat persis di paragraf dan baris tertentu. Plek ketiplek, tidak boleh salah tempat!Â
Ada lagi tantangan harus mengandung benda dalam dalam sebuah gambar yang diberikan oleh panitia (Gbr. Bangles). Sementara tantangan lain harus mengandung atau bercerita tentang sebuah gambar yang amat terkenal, yaitu Menara Eiffel. Tapi, bukan hanya menara itu tok!Â
Menara Eiffel-nya hanya terlihat di kejauhan (lihat gambar). Point of view (POV) ternyata Menara Eiffel di malam hari dari sebuah balkon yang ada sofa, selimut dan bantal-bantal kursi. Lengkap-lah tantangan itu sebagai bahan bikin pusing kepala untuk berimajinasi.Â
Stuck ide
Apakah saya lancar menjalankan program ini? Haha, I wish I could. Harapannya begitu. Faktanya, selama 20 hari itu, sebagian besar saya menyetor mepet-mepet jam dead-line. Hehe.Â
Yang paling menantang adalah saat kami diminta menuliskan cerita dengan setting jaman baheula, atau cerita horor. Duh, cerita horor tidak terlalu saya kuasai atau tepatnya, suka. Tapi, mau tidak mau, saya harus setor.Â
Jadi, tak heran untuk beberapa tantangan, saya mengalami stuck ide jelang jam-jam deadline. Blank! Pernah satu waktu saya baru dapat ide sore hari ketika sedang naik LRT menuju pulang ke rumah. Saya memutuskan untuk turun di stasiun LRT Cawang (seharusnya turun di Stasiun Cikunir 1 - artinya masih ada 3 stasiun lagi) yang merupakan stasiun transit yang saya tahu ada outlet mini market yang menyediakan bangku dan meja.Â
Setelah membeli makanan dan minuman saya segera ambil tempat duduk, buka laptop dan sat-set, sat-set mengetik dengan penuh ketegangan. Saya sempatkan baca lagi cerpennya, edit sana-sini, lalu beberapa menit kemudian, done, kirim!Â
Kejadian seperti itu berulang beberapa kali. Seperti berpacu dengan waktu dan ide yang mentok. Haha. Kembali ke pertanyaan, kok saya mau ya memaksakan diri seperti itu. Hehe.Â
Kemampuan maksimal manusia
Begini, saya pernah membaca satu ungkapan yang menyatakan bahwa kemampuan maksimal manusia itu baru muncul dalam kondisi terpepet. Jadi, saya memang memepetkan diri agar terlatih mengeluarkan kemampuan maksimal saya, di usia yang tidak muda lagi ini.Â
Beberapa peserta ada yang rontok di tengah jalan. Artinya, mereka tidak bisa setor setiap hari. Lewat dari jam dead line. Ya, tentunya mereka diperkenankan lanjut terus ikut program. Bedanya mereka tidak diikutsertakan dalam penilaian lomba.Â
Meski hadiahnya tidak terlalu besar, tapi ya itu tadi, pengalaman memaksakan diri sehingga kemampuan maksimal muncul dengan sendirinya. Ini yang tak ternilai harganya dan melebihi harga hadiah lomba.
Dua cerpen terbaik
Di akhir program, kami para peserta diminta memilih dua cerita terbaik yang akan dibukukan. Saya sendiri memilih satu cerita yang berhubungan dengan gambar Menara Eiffel, satu lagi saya pilih terkait tentang persahabatan dan keluarga (tantangannya menempatkan satu kalimat persis di paragraf dan baris tertentu).
Cerita yang terkait dengan gambar Menara Eiffel, setelah direvisi lagi, saya beri judul "Antara Menara Eiffel dan Gaza". Cerpen ini memang berkisah tentang dua keluarga berkebangsaan Indonesia dan Palestina yang bertemu di Paris, Prancis. Cuplikan kisahnya saya beberkan di tulisan berikunya saja ya. Hehe.
Cerpen satu lagi saya beri judul "Benci tapi Rindu Papa" yang berkisah tentang persahabatan sejati sepasang anak muda, tapi ... ah, sudahlah di tulisan berikutnya saja ya. Haha.
Jangan cengeng!
Yang jelas, buku antologi cerpen ini segera akan terbit ya dengan judul "Jejak Aksara". Seperti saya ceritakan tadi, cerpen-cerpen  ini lahir dari sebuah kondisi keterpepetan dan jelas merupakan dua cerpen terbaik dari masing-masing penulis. Dengan kata lain, cerpen-cerpen di buku antologi ini adalah yang terbaik dari yang terbaik.Â
Jadi, begitulah sekelumit kisah menulis cerpen saya. Semoga kisah ini bisa menginspirasi kita semua agar tidak cengeng menghadapai setiap tantangan. Kata orang, masalah itu bukanlah masalah hingga kita menganggapnya sebagai masalah!Â
Semangat terus, berkarya terus dan tulislah minimal satu buku, sebelum kamu mati.Â
Salam literasi! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H