ChatGPT viral! Bahkan, bagi para guru, dosen dan pengajar lainnya ChatGPT seolah menjadi momok. Ia digadang-gadang akan membuat para murid, mahasiswa dan peserta didik 'mendadak pintar'.
Ya, mendadak. Karena dengan teknologi yang bernama ChatGPT ini seseorang bisa mendadak pintar dalam memaparkan naskah-naskah, mulai dari yang sederhana (seperti gombalan atau naskah lucu-lucuan) hingga yang paling sulit, se-level disertasi.
Benahkah? Saya sih percaya. Ya kenapa tidak? Teknologi dari masa ke masa sudah menunjukkan kemajuan yang fantastis. Kenapa harus terkejut dengan kemampuan ChatGPT?
Menurut saya, guru, dosen dan para pendidik justru tak boleh terkejut atau resah. Hanya mereka yang tak mau update pengetahuan saja yang boleh resah.
Karena yang abadi di dunia ini adalah perubahan 'kan? Nah, teknologi pasti akan berubah terus. Kalau kita tidak ikut berubah (lebih maju - updating) siap-siap tergilas lah.Â
... secanggih apa pun ChatGPT itu, tentu ada peran manusia di dalamnya ...
Bagi saya, yang patut dicermati bukan kemampuan ChatGPT-nya. Perlu diingat secanggih apa pun ChatGPT itu, tentu ada peran manusia di dalamnya yang merancang sebuah sistem dan meng-input data-data yang akan menjadi sebuah proses otomatis yang siap menanggapi pertanyaan. Jadi yang perlu diwaspadai adalah perspektif kita terhadap kemajuan teknologi itu.Â
Adalah bijak bila kita tidak mengatakan bahwa 'ChatGPT itu pintar'. Akan lebih bijak untuk mengatakan, 'Orang yang menciptakan ChatGPT itu yang luar biasa pintar'.
Atau lebih tepat lagi, 'Tim yang menciptakan ChatGPT pintar luar biasa'. Karena saya yakin ChatGPT tidak diciptakan oleh satu orang jenius.Â
Lebih meningkat lagi perspektif itu seharusnya menuju pada kehebatan pencipta manusia itu yang Maha Pintar. Ya, apalagi kalau bukan Tuhan, Allah Yang Maha Pencipta. Agama apa pun pasti tidak akan menyangkal. Di Al-Qur'an sendiri, Surat At-Tin, ayat ke-4 yang maknanya, kurang lebih, mengatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi ini.Â
Berdasarkan ayat ini pula saya selalu merasa heran bila ada seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak punya atau memiliki kemampuan apa-apa. Kecuali ia memang mengalami 'sesuatu' di otaknya sejak lahir atau karena satu sebab.
Ingat Stephen Hawking? Silakan tanya mbah google bagaimana kehebatan otak Stephen ini meski tubuhnya lumpuh maksimal. Banyak juga di kehidupan modern ini, manusia-manusia yang tubuhnya tidak selengkap yang lain tapi kemampuannya justru melebihi manusia yang anggota tubuhnya lengkap/sehat.Â
Kemajuan teknologi ChatGPT - atau secara umum, teknologi Artificial Intelligent/AI (sebagai induk dari teknologi ChatGPT), Â juga merupakan bukti bahwa perjalanan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW bukan isapan jempol belaka.
Perjalanan spritual dalam satu malam dari Masjidil Haram di Mekah ke Mesjid Aqsa di Yerusalem (Isra - berarti perjalanan malam) lalu dilanjutkan ke Sidratul Muntaha (naik langit lapir ke-7 - Mi'raj berarti naik) adalah nyata. Â
Bukankah dengan teknologi Zoom, Google Meet, Microsoft Team atau aplikasi sejenis sudah membuktikan bahwa setiap orang di mana pun di muka bumi ini bisa 'hadir' dalam waktu bersamaan? Rasulullah SAW sudah mengalaminya 1400-an tahun lalu. Dan saat itu belum ada teknologi digital.Â
Hari ini 'teknologi' yang dulu dicemooh oleh kaum penentang Nabi SAW (Islam) makin nyata bukan? Begitu juga dengan 'teknologi' yang dialami oleh Nabi Isa AS (Yesus) saat masih bayi yang bisa berbicara (Surat Maryam ayat 30-31). Pun dengan 'teknologi' belah laut yang dialami oleh Nabi Musa AS. Juga 'teknologi' lain yang dialami para nabi yang kita kenal dengan sebutan mukjizat.
Satu per satu mukjizat itu hari ini hadir membuktikan diri dalam kemajuan teknologi di berbagai bidang, khususnya digital. Saya yakin di agama lain pun ada kisah-kisah mukjizat serupa. Saya hanya ingin mengatakan selama manusia masih mampu berpikir maka kemajuan-kemajuan akan terus berdatangan.Â
Bagi saya peringatan Isra Mi'raj tahun ini mengantarkan saya pada sebuah perspektif nyeleneh dengan mengaitkannya kepada ChatGPT. Saya hanya ingin - terutama diri pribadi- tidak terjebak pada euforia orang-orang pada kehebatan ChatGPT.
Yang harus kita ingat adalah betapa hebat otak manusia dari zaman ke zaman. Mulai era Thomas Alfa Edison, Albert Einstein hingga kini ada banyak sekali tokoh-tokoh dunia yang mengubah peradaban manusia. Â
Bahkan, Daniel H. Pink (penulis buku-buku motivasi dan pengembangan diri) dalam bukunya yang berjudul A Whole New Mind (diterbitkan di Amerika pertama kali pada 2006) yang dalam bahasa Indonesia diterbitkan pada 2019 oleh Gramedia dengan judul "A whole new mind : bagaimana para pengguna otak kanan mampu menguasai masa depan" (dengan penerjemah Irene Christine) mengatakan lebih dramatis lagi.Â
... dunia saat ini sudah bergeser ke era konseptual dari era informasi.
Menurut Daniel, dunia saat ini sudah bergeser ke era konseptual dari era informasi. Di era konseptual, segala hal yang fungsional sudah tak cukup lagi, harus ada 'rasa seni' alias desain atau hal-hal yang kreatif. Juga harus ada cerita (story). Tak hanya fokus, tapi juga harus ada keselarasan.
Tak cukup hanya logis, tapi juga harus ada empati. Tak melulu harus serius, tapi harus ada nuansa permainan. Bukan hanya akumulasi dari sebuah perjalanan, tapi harus bisa menangkap sebuah pesan atau makna dari semua itu. Daniel merangkum ke-enam hal itu dengan sebutan Six Senses.Â
Yang pada intinya Daniel mengatakan bahwa manusia di era konseptual saat ini perlu mengoptimalkan otak kanan. Yaitu, cara berpikir kreatif, konseptual dan penuh makna yang hakiki.
Hanya mereka, menurut Daniel, yang mampu bekerja secara maksimal dengan otak kanan yang akan mampu menguasai atau berperan penting di masa mendatang.Â
Dalam perspektif otak kanan, perjalanan Isra Mi'raj akan masuk akal. Tak terbantahkan. Dalam perspektif otak kanan, teknologi ChatGPT atau AI akan terus berkembang menemukan bentuknya yang baru dan penuh hal-hal menakjubkan.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita mau, sekali lagi, maukah (bukan mampu atau tidak) kita beradaptasi terus dengan perkembangan itu dengan menggunakan otak kanan kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H