Begitu juga dengan rambu-rambu lalin. Tidak jarang rambu-rambu diletakkan tidak pada posisi yang ideal sehingga pengendara merasa 'terjebak'.
Lampu pengatur lalin (lampu merah) pun seharusnya tidak perlu dobel-dobel yang membuat pengendara bisa berhenti jauh di depan garis berhenti karena mereka bisa melihat lampu merah kedua yang terletak beberapa meter di depan lampu merah utamanya yang tepat di garis stop.
Soal lampu merah ini saya pernah ngobrol dengan seorang kawan di kota Soe, NTT. Saya cerita soal lampu merah itu ketika saya takjub dengan ketaatan warga kota itu berhenti di belakang garis stop.
Dia bilang orang harus berhenti di belakang garis stop supaya bisa melihat lampu merahnya. Lalu dia merasa heran kenapa orang di Jakarta berhenti di depan garis stop. Saya ceritakan soal dobel lampu merah dobel. Dia pun tertawa sambil berkata, “Untuk apa dobel lampu merah?”
Program-program di televisi swasta yang selama ini sudah ada sebaiknya dioptimalkan untuk sosialisasi etika berlalin ketimbang hanya soal menghukum pelanggar lalin atau penangkapan para pelaku kriminal.
Kalau ada tindakan hukuman seharusnya ada tindakan penghargaan (reward). Sejauh ini saya belum melihat ada program reward terkonsep dengan baik dengan kata lain bukan yang sifatnya dadakan/sementara seperti selama ini.
Jadi panjang ya pe-ernya? Yes ... itulah sebabnya kemacetan masih panjaaaang sekali ... sama dengan pe-ernya.
Sekali lagi, apakah ini rumit? Tergantung seberapa kuat kita mau berbenah? Kalau enggan, ya sebaiknya tidak perlu repot-repot berkeluh-kesah, enjoy aja. Gitu aja kok repot ... hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H