Kejadian tragis di Jalan Arteri Cibubur, Senin, 18 Juli 2022, menggegerkan kita semua. Rasa sedih, haru dan iba merebak di hati kita. Seharusnya kejadian itu tak perlu terjadi ... seharusnya kejadian itu bisa dihindari ... seharusnya ... seharusnya ...
Saya pun langsung menghubungi teman-teman dan beberapa famili yang kebetulan tinggal di Kawasan Cibubur via WA. Mereka aman. Alhamdulillah. Tapi, tetap perasaan gundah dan sedih tak bisa kita bohongi setelah mendengar ada 10 orang yang harus meregang nyawa sia-sia serta lebih dari belasan orang luka-luka.
Lalu perasaan saya kemudian jadi berubah marah setelah melihat grup WA. Banyak foto dan video tentang kecelakaan tragis tersebut beredar semena-mena. Saya bilang semena-mena karena betul-betul vulgar. Kenapa vulgar? Ya, karena tidak ada editing apa pun terhadap tampilan gambar foto atau video. Vulgar!!!
Saya pun langsung minta rekan-rekan di kantor untuk tidak melihat/mengklik apa pun yang terkait dengan foto atau video kecelakaan tragis tersebut, apalagi menyebarkannya. Hal yang sama saya lakukan ke famili terdekat saya. Itu lah yang saya bisa lakukan. Sebagai muslim, saya juga langsung mengucapkan "innalillahi wainnailaihi rojiun" sebagaimana biasa bila kita mendengar atau mengalami musibah apa pun.
Yang tak habis pikir oleh saya adalah mereka yang merekam gambar foto atau video kecelakaan tersebut.
Anda mau jadi reporter? Anda mau viral? Anda pikir dengan merekam gambar foto atau video itu lalu menyebarkan ke akun media sosial atau pun via berbagai platform pesan singkat (WA, Telegram, FB Messenger, dll) akan membuat orang merasa iba? Atau dengan tindakan Anda itu akan membuat perubahan orang yang melihatnya? Atau agar para pengendara lebih berhati-hati? Atau apa ...?
Hanya satu pertanyaan saya yang ingin saya Anda jawab ; di mana rasa kemanusiaan Anda?
Mohon maaf ... saya terbawa emosi sekali dengan tindakan Anda. Saya pikir sudah saatnya -- untuk ke sekian kali -- pemerintah dalam hal ini kementerian terkait menuntaskan hal-hal seperti ini. Sudah sepatutnya ajukan draft rancangan undang-undang yang bisa mengancam pidana bagi mereka yang merekam gambar foto/video kemudian menyebarkannya lewat media apa pun.
Seharusnya pihak kementerian terkait sudah sejak lama segera berdiskusi dengan para anggota DPR untuk membahas hal ini. Seharusnya ... seharusnya ... dan seharusnya ... sudah sejak lama sekali Anda-anda, Bapak dan Ibu yang terhormat berempati terhadap hal seperti ini ...
Pertanyaan saya juga sama dengan sebelumnya ; di mana rasa kemanusiaan Anda?
Senin, 18 Juli 2022 pagi (WIB), seorang kawan Kompasianer (mbak Hennie Triana Oberst) yang tinggal di Jerman menuliskan artikel tentang Gaffer. Gaffer, jika diartikan adalah orang merekam atau memotret korban dan hanya menjadi penonton saat terjadi kecelakaan, kekerasan, dan bencana. Silakan klik di sini untuk membacanya. Di artikel tersebut mbak Hennie telah menuliskan tentang ancaman pidana bagi mereka yang merekam gambar atau video kecelakaan.
Untuk teman-teman media pun sama. Masih ada beberapa media (ya memang tidak semua media mainstream memang) yang menayangkan/memuat foto-foto dan video tentang kecelakaan ini (umumnya 'memungut' dari video-video amatir di media sosial). Seharusnya Anda bisa lebih selektif dalam memilih foto dan video untuk menjadi ilustrasi berita-berita Anda.
Pertanyaan saya ; di mana rasa kemanusiaan Anda?
Untuk Bapak-bapak pejabat dan pengusaha di sekitar lokasi kecelakaan. Saya mendapatkan kabar dari seorang kawan saya yang tinggal di kawasan Cibubur dan sering lewat jalan itu bahwa lampu lalu-lintas dan sela putaran kendaraan (U-turn) baru diaktifkan sebulan lalu. Padahal, jalan tersebut turunan 30 derajat sehingga amat membahayakan secara logika. Tak perlu logika akademik, logika sederhana saja itu sudah amat membahayakan.
Pertanyaannya, kok bisa pembangunan lampu lalu-lintas dan putaran itu mendapatkan izin?
Budaya Pembiaran
Semua ini memang kembali ke hati nurani kita. Banyak hal yang perlu dibenahi yang kita lihat sehari-hari di depan mata kita. Apa yang kita lakukan?Â
Biasanya kita cenderung membiarkan dan berharap ada yang menegur atau memperbaikinya. Ini budaya yang saya kira tidak baik dan harus diubah agar kita lebih peduli.
Kawan saya tadi (mas Hendro) yang tinggal di daerah Cibubur telah mengusulkan kepada Ketua RW-nya untuk meneruskan imbauan kepada pengembang CBD Cibubur (yang ditengarai adalah yang punya ide tentang lampur lalu-lintas dan putaran maut itu) agar menutup secara permanen (saat ini putaran itu hanya ditutup dengan beton pembatas jalan biasa).
Apa yang dilakukan mas Hendro adalah contoh kepedulian yang dieksekusi. Bukan sekadar wacara di obrolan bapak-bapak di komplek atau, apalagi, wacana di kepala semata.Â
Saya sendiri hingga hari ini masih sering berupaya memperingatkan pengendara motor yang secara sadar atau tak sadar membiarkan lampu signal motor tetap berkedip di jalan raya.Â
Kadang saya membiarkan hanya karena ingin melihat apakah ada orang lain yang memperingatkan. Hasilnya? Tidak ada.
Sikap pembiaran ini yang kadang berakibat pada kejadian-kejadian tragis yang mengikutinya. Bukan tidak mungkin kejadian di Cibubur itu adalah akibat pembiaran dari masyarakat sekitar kawasan itu yang telah melihat dan menyadari bahaya tersebut.Â
Yang jelas, seperti yang saya katakan tadi, bahwa lampu lalu-lintas dan putaran di kontur jalan yang menurun tajam tadi tidak perlu logika seorang ahli untuk bisa mengatakan bahwa itu bahaya.
Dengan kejadian di Cibubur semoga jadi pelajaran untuk kita semua untuk lebih berhati-hati di perjalanan dan tidak membiarkan potensi-potensi membahayakan orang lain (bukan hanya potensi bahaya untuk diri sendiri).
 Dengan begitu, kita telah mengaktifkan rasa kemanusiaan kita pada posisi ON!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H