"Lo hidup nyusahin diri amat sih, Rif"Â
Itu komentar seorang temen saat melihat saya tak mau makan nasi putih dan memilih makan lauk saja. Saya lantas jawab, "Lebih nyusahin kalau masuk RS, bro! Makanya gue jaga pola dan menu makanan gue!"
Saat itu, beberapa tahun lalu saya memang memilih untuk ikut program Keto Fastosis (KF). Yaitu program gaya hidup makan tanpa bahan makanan yang mengandung karbohidrat dan turunannya.Â
Seperti nasi, tepung, gula dan sejenisnya deh. Tujuan saya waktu itu bukan untuk menurunkan berat badan (seperti layaknya orang yang jalankan program ini). Tapi hanya ingin menyembuhkan penyakit fatty lever yang saya idap.Â
Yang saya mau tulis bukan soal KF, karena sudaha ada grup facebook yang lebih lengkap informasinya dan teman-teman yang secara sukarela bisa menjadi mentor. Ikut program ini seharusnya memang harus didampingi mentor, tidak boleh sendirian atau autodidak. Akan tidak baik nanti hasilnya.Â
Saya ingin menuliskan keresahan saya pada fenomena mindset bahagia yang kelihatannya atau terdengar wajar dan masuk akal. Tapi, sebenarnya menjebak. Atau bisa dibilang mindset ini adalah jebakan batman ... hehe. Anda bisa masuk perangkap yang membuat Anda justru tidak bahagia. Repot 'kan?
Yang seperti apakah mindset bahagia yang menjebak itu? Ya, sederhananya begini, kita 'kan sering mendengar seseorang atau teman berkata, "Ah, bahagia itu kan bagaimana mindset kita aja. Kalau kita berpikir bahagia, ya kita pasti bisa merasa bahagia. Sebaliknya, kalau mindset kita selalu 'bilang' susah, ya susah terus lah kita."
Dari satu sisi hal itu benar. Kita memang berbahagia selayaknya tanpa prasyarat. Kita bahagia sebaiknya bukan karena pasangan kita, bukan karena uang, bukan karena kekayaan. Ini bukan hanya kata saya loh. Banyak orang sukses dan tokoh terkenal telah membuktikan hal itu. Dua filsuf terkenal di dunia punya kutipan menarik.
Filsuf Islam Al Ghazali mengatakan, "Kebahagiaan terletak pada kemenangan melawan hawa nafsu dan kehendak berlebih-lebihan." Sementara filsuf Yunani Socrates berujar, "Makan enak, baju indah dan segala kemewahan, itulah yang kau sebut kebahagiaan. Namun, aku percaya suatu keadaan di mana orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan tertinggi."
Nah, kembali ke ucapan kawan saya di awal tulisan ini. Dia merasa bahwa makan yang ia sukai adalah bagian dari kebahagiaannya. Tak peduli makanan apa pun. "Selagi bisa menikmati dan kita bahagia, ngapain dibikin susah," ujarnya kira-kira intinya begitu deh.
Ada lagi teman saya yang lain agak lebih dramatis sih. Menurut kabar, dia punya kebiasaan unik yaitu makan soto jeroan beberapa hari sebelum jadwal cuci darah. "Kan saat cuci darah bisa bersih lagi tuh darah gue," katanya.Â
Ini yang saya maksud kebahagiaan yang menjebak. Kebahagiaan semu. Kebahagiaan bersyarat dengan makanan enak tapi beresiko pada kesehatan. Tidak sedikit saya pikir dari kita yang menganut paham kebahagiaan bersyarat ini.Â
Apakah And termasuk? Semoga tidak ya ... Kalau memang iya, ya coba pikir-pikir lagi apakah tergeletak di RS lebih ... ah, sudahlah ... tidak sanggup saya teruskan kalimatnya. Sebab, beberapa kawan sudah berpulang akibat tidak menjaga gaya hidup dalam hal makanan.Â
Saya setuju dengan ucapan AlGhazali dan Socrates. Bahwa kebahagiaan adalah ketika kita mampu melawan hawa nafsu. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang. Order makanan begitu mudahnya. 'Belanja mata' berbagai makanan begitu mudah di layar ponsel dan laptop. Apalagi ditambah iming-iming berbagai diskon ini-itu. Ini yang saya sebut 'jebakan Batman'!
Dan seperti kata Socrates, kebahagiaan tertinggi pada hakekatnya ketika kita merasa bahagia tanpa berharap apa-apa, tanpa syarat. Saya pikir itu adalah kebahagiaan untuk dekat dengan Tuhan, Pencipta Alam dan Kebahagiaan Sejati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H