Nah, kembali ke ucapan kawan saya di awal tulisan ini. Dia merasa bahwa makan yang ia sukai adalah bagian dari kebahagiaannya. Tak peduli makanan apa pun. "Selagi bisa menikmati dan kita bahagia, ngapain dibikin susah," ujarnya kira-kira intinya begitu deh.
Ada lagi teman saya yang lain agak lebih dramatis sih. Menurut kabar, dia punya kebiasaan unik yaitu makan soto jeroan beberapa hari sebelum jadwal cuci darah. "Kan saat cuci darah bisa bersih lagi tuh darah gue," katanya.Â
Ini yang saya maksud kebahagiaan yang menjebak. Kebahagiaan semu. Kebahagiaan bersyarat dengan makanan enak tapi beresiko pada kesehatan. Tidak sedikit saya pikir dari kita yang menganut paham kebahagiaan bersyarat ini.Â
Apakah And termasuk? Semoga tidak ya ... Kalau memang iya, ya coba pikir-pikir lagi apakah tergeletak di RS lebih ... ah, sudahlah ... tidak sanggup saya teruskan kalimatnya. Sebab, beberapa kawan sudah berpulang akibat tidak menjaga gaya hidup dalam hal makanan.Â
Saya setuju dengan ucapan AlGhazali dan Socrates. Bahwa kebahagiaan adalah ketika kita mampu melawan hawa nafsu. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang. Order makanan begitu mudahnya. 'Belanja mata' berbagai makanan begitu mudah di layar ponsel dan laptop. Apalagi ditambah iming-iming berbagai diskon ini-itu. Ini yang saya sebut 'jebakan Batman'!
Dan seperti kata Socrates, kebahagiaan tertinggi pada hakekatnya ketika kita merasa bahagia tanpa berharap apa-apa, tanpa syarat. Saya pikir itu adalah kebahagiaan untuk dekat dengan Tuhan, Pencipta Alam dan Kebahagiaan Sejati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H