Demikian penggalan salah-satu pemikiran Buya dalam bukunya yang berjudul "Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante." Buku-buku lain pun mengisyaratkan keteguhan sikap Buya terhadap kebangsaan dan keislamannya. Tapi, Buya tetaplah Buya ... yang tak ingin memaksakan pemikirannya harus diterima semua kalangan. Ia hanya mengingatkan berdasarkan ilmu yang telah pelajari dan juga berbasis pemahaman terhadap isi Alquran serta kitab-kitab pendukung lain.
Buya juga dikenal sebagai tokoh sentral 'pemersatu' Muhammadiyah dan NU bersama Gus Dur. Dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar dan dominan di Tanah Air yang sempat seperti mau 'diadu' oleh kekuasaan Orde Baru dulu.Â
Dengan peran dan pemikiran sehebat itu tak membuat Buya menjadi hedon identitas (orang yang bangga berlebihan dengan identitas jabatan, seragam serta fasilitas-fasilitas mewah lainnya). Bagi Buya sepertinya tak ada istilah 'mentang-mentang' dalam kamus hidupnya. Tak seperti mereka yang petantang-petenteng dengan identitas seragam, agama, profesi, jabatan atau plat mobil atau bahkan mobil mewahnya.
Buya mungkin bisa disejajarkan dengan Bung Hatta, Buya Hamka, Hoegeng serta Baharuddin Lopa. Mereka orang-orang langka di negeri ini yang punya prestasi dan pemikiran luarrr biassaaa ... tapi hidup sebagai orang biasa bahkan tak ingin mendapatkan fasilitas VVIP yang sebenarnya memang pantas mereka dapatkan. Kita sudah pernah mendengar atau membaca kisah sepatu Belly impian Bung Hatta, kisah mundurnya Buya Hamka sebagai Ketua MUI padahal dia yang mendirikan, kisah kejujuran Hoegeng serta kisah keberanian Baharudin Lopa melawan bandar-bandar judi serta keteguhannya menjaga integritas pada hal kecil seperti melarang mobil dinas dipakai oleh istri meski hanya ke pasar.
Kita pasti amat merindukan perilaku jujur, bersahaja dan sederhana seperti mereka. Kepergian Buya Syafii menambah kelangkaan orang-orang yang tidak mengalami hedon identitas di negeri ini.Â
Bila saja oknum militer yang membentak dua bocah 'polisi cepek' yang berjumpa saya itu pernah atau mau meneladani sikap Buya Syafii tentu ia tak perlu bersikap arogan. Tapi ... mereka tetaplah mereka ... Kita hanya bisa mengingat Buya Syafii serta tokoh-tokoh langka di negeri ini dalam kenangan tak bertepi ...Â
Selamat jalan, Buya ... Lahul Fatiha ...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H