Andai saja lelaki yang lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Sumbar itu memanfaatkan identitasnya sebagai mantan Ketua Umum Muhammadiyah pasti staf RS PKU Muhammadiyah akan dengan senang hati melayani Buya dengan fasilitas VVIP. Tapi, Buya tidak lakukan itu. Pi'i (panggilan kesayangan saat ia kecil) tetap sabar menanti panggilan antrian sebagai rakyat biasa.
Padahal identitas Buya bukan biasa-biasa saja, tapi luaarrr biassaaa. Sederet jabatan mentereng pernah ada di pundaknya. Bahkan saat wafat jabatan Buya masih sebagai salah-satu penasehat khusus Presiden Jokowi. Toh Buya tetaplah Buya ... dengan segala sikap rendah hatinya.
Terbayang juga saat Buya mengkritik orang-orang yang berupaya 'menjatuhkan' Ahok dalam kasus tuduhan penistaan agama pada 2016 yang kemudian memancing hujatan dari sesama muslim terhadap dirinya. Saat itu, Buya cukup keras bersuara' "Ahok tidak menista agama Islam". Tapi, Buya tetaplah Buya dengan segala sikap rendah hatinya ketika akhirnya Ahok dijatuhi vonis bersalah dan dihukum penjara selama dua tahun ia tetap tenang meski ada rasa kecewa mendalam.
... Buya tetaplah Buya ... dengan segala sikap rendah hatinya.
Buya juga bersuara keras ketika Presiden Jokowi terlihat 'pasrah' pada kejadian tes beberapa pegawai KPK yang kontroversial itu. Â Tapi, Buya tetaplah Buya ... ia geram tapi tetap menghormati apa yang sudah terjadi.
Cendikiawan muslim terkemuka ini bahkan tidak marah ketika ia dicap sebagai bagian dari kelompok Islam liberal hanya karena ia memberi sebutan kelompok FPI saat itu (sebelum dibubarkan) sebagai 'preman berjubah' yang kemudian istilah itu ramai dipakai oleh para penganut liberalisme.
Buya juga tidak terpancing emosi untuk membalas kritikan seorang kritikus yang selalu bangga dengan istilah 'akal sehat'-nya. Buya tetaplah Buya ... (mungkin Buya paham bahwa si tokoh itu di kampus dan oleh mahasiswa serta para alumninya sudah dipandang sebelah mata, jadi buat apa diladeni - toh dia terkenal hanya karena selalu diundang sebagai narasumber oleh sebuah stasiun televisi swasta saja ... di stasiun tv lain sudah tak laku ... hehe).
Pemikiran Buya tentang keislaman, kebangsaan dan toleransi sudah melebihi akal sehat. Ia meraih gelar-gelar akademis (master hingga profesor) bukan hanya di dalam negeri. Ia dikenal sebagai trio Chicago bersama Nurcholis Madjid dan Amin Rais. Jadi, saya setuju dengan sikap Buya yang tak indahkan kritik si 'yang katanya ber-akal sehat' (bahkan orang itu suka men-dungu-kan orang lain, padahal sepertinya ia yang begitu).
"Dalam konsep suatu negara Islam pada waktu ini tempat hukum syari'ah tidak saja masih jauh dari selesai, tetapi belum diketahui betul porsi dan bagian yang mana dari hukum ini yang bisa lolos bila diuji dengan prinsip-prinsip moral dan etik al-Quran. Karena alasan inilah, maka menjadi mutlak perlu bagi syari'ah untuk menjelaskan posisinya sebelum memasuki wilayah teori konstitusional tentang negara."