Mohon tunggu...
AyahArifTe
AyahArifTe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ayah

Penulis dan mantan wartawan serta seorang ayah yang ingin bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ayah Minta Maaf, Ya

5 Mei 2022   22:02 Diperbarui: 5 Mei 2022   22:05 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Yah, ini kan lagi buka puasa. Kenapa sih bahas masalah hidungku?"

"Ya, Ayah hanya ... " 

Belum tuntas kalimat itu, anakku, Fathan, sudah bangkit dari sofa tempat kami duduk dan pergi ke kamarnya sambil bergumam tak tentu. Untungnya tidak banting pintu kamarnya. 

Saya pun hanya bisa menatap punggungnya dan tertegun sambil mulut terus mengunyah kurma. 

"Apa salah saya?" saya membatin. "Saya 'kan hanya mengungkapkan rasa khawatir dengan kondisi hidungnya yang seperti pilek tapi tidak ada apa-apa. Sudah lama kondisinya seperti itu yang memang ada gejal sinusitis. Orangtua mana yang tidak resah?"

"Apakah salah ayah bertanya pada anaknya yang seperti sedang mengidap penyakit? Tidak ada yang salah toh? Saya benar, kan?"

Saya pun beranjak dari sofa menuju kamar mandi yang hanya beberapa langkah untuk berwudhu. Dekat pintu kamar mandi, saya sempat berhenti dan coba menguping ke pintu kamar Fathan yang memang dekat dengan kamar mandi. 

"Hmm ... tidak ada isak tangis. Baguslah. Semoga dia menyadari bahwa yang terjadi barusan merupakan rasa sayang seorang ayah pada anaknya."

Saya pun masuk ke kamar mandi. Mulai buka keran air untuk berwudhu. Nah, di saat bersuci itulah kok pikiran berkelebat lagi. 

"Tapi, apa saya sudah benar ya? Kalau dipikir-pikir memang saya suka random sih. Mungkin bukan momen yang tepat saya membicarakan soal hidungnya yang bermasalah itu. Duh ... salah ya? Terus, saya harus minta maaf gitu? Walah ... masa sih? Saya kan ayahnya. Dan dia anak laki-laki. Gengsi ah. Mau ditaro di mana wibawa saya sebagai seorang ayah?"

Pertanyaan demi pertanyaan terus seliweran di kepala selama proses berwudhu. Bahkan saat keluar dari kamar mandi pun saya sempat berdiri di depan pintu dan berdiri sejenak sambil melihat Fathan sudah duduk di ruang tamu sedang makan besar. Mungkin dia sudah lapar sekali. Ditambah lagi pembahasan dadakan yang membuatnya tidak nyaman dengan saya barusan.

Tapi, entah kenapa ... saya hampiri dia dan saya ulurkan tangan saya sambil berujar, "Ayah minta maaf, ya."

Fathan melihat saya sejenak kemudian tangan kanannya menyambut uluran tangan saya. "Oii ... itu tangan ... ," kata saya perlahan. Ia mungkin terkejut dengan sikap saya itu yang tak biasa dan langsung menjulurkan tangan kanannya secara reflek tanpa sadar tangannya bekas makanan. Akhirnya ia bengkokkan tangannya sedemikian rupa sehingga saya bisa menyambut punggung tangannya untuk bersalaman sambil kepalanya menunduk seperti ingin mencium tangan saya. "Sudah gak usah, makan aja. Cepet ya. Segera shalat setelah itu."

Saya pun segera masuk kamar dan shalat maghrib. Setelah selesai shalat saya merenung lagi. 

"Minta maaf pada Fathan tadi ternyata melegakan. Meski saya merasa benar. Tapi, saya ada salah juga. Waktunya tidak tepat memang."

Tak lama setelah kejadian itu, dan setelah shalat maghrib, Fathan pamit mau kembali ke kost seperti rencana awal. "Tapi, aku mau mampir dulu di kedai kopi Kulo ya."

Kedai kopi itu memang tak jauh dari rumah kami. Hanya sekitar 300 meter. Kadang saya dan Fathan kongkow berdua saja di kedai kopi itu. Dan saat kongkow itu biasanya saya ajak dia untuk membahas apa pun. Tempatnya memang nyaman dan tidak terlalu besar serta tidak banyak pengunjung, sehingga enak untuk ngobrol. Seharusnya di tempat itu dan saat kongkow itulah saya bahas soal hidungnya itu. "He he ... dasar bapak-bapak ..." batinku. 

Tiba-tiba ada bunyi notifikasi WA dari ponsel saya. Dari Fathan. "Yah, aku minta maaf juga ya tadi."

Yessss ... alhamdulillah ... dia ternyata minta maaf juga. It works! Berhasil. Saya memang ingin membiasakan selalu ada kata maaf di antara komunikasi kami. Dan tak perlu saat bersalah. Saat merasa benar pun tak ada salahnya. Dan ... biasanya memang yang terjadi saling maaf-memaafkan. 

Coba bandingkan bila tidak ada kata maaf dari saya? Fathan mungkin masih dongkol. Dan dalam kondisi itu ia pamit kembali ke kost tentu akan membuat saya was-was. 

Ini menjadi salah-satu pelajaran berharga bagi kami berdua di momen Ramadan lalu. Menjadi seorang ayah tak selamanya harus merasa benar. Nobody's perfect. Minta maaf bukan pula dosa kan? Tak ada ruginya juga. Allah pun Maha Pengampun toh ... kita ini apalah? 

Yang menjadi pelajaran lain buat saya adalah momen yang tepat untuk bahas hal-hal sensitif dengan anak. Kejadian ini*) telah mengingatkan saya pada ritual saya dan Fathan yang sudah lama tak kami lakukan. Yaitu, boys' talk. Ya itu tadi, kongkow sambil ngobrol dan bahas hal-hal apa pun. Mungkin karena sejak ia kuliah dan kost jauh dari rumah membuat kami luput terhadap ritual itu. 

Semoga kejadian ini akan membuat kami lebih sering melakukan boys' talk lagi kelak. Dan saya merasa ini merupakan cara Allah menegur kami. Dan semoga ini merupakan salah-satu berkah di malam Ramadan, ammiin. 

*Kejadian ini pada saat minggu ke tiga Ramadan. 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun