Pertanyaan demi pertanyaan terus seliweran di kepala selama proses berwudhu. Bahkan saat keluar dari kamar mandi pun saya sempat berdiri di depan pintu dan berdiri sejenak sambil melihat Fathan sudah duduk di ruang tamu sedang makan besar. Mungkin dia sudah lapar sekali. Ditambah lagi pembahasan dadakan yang membuatnya tidak nyaman dengan saya barusan.
Tapi, entah kenapa ... saya hampiri dia dan saya ulurkan tangan saya sambil berujar, "Ayah minta maaf, ya."
Fathan melihat saya sejenak kemudian tangan kanannya menyambut uluran tangan saya. "Oii ... itu tangan ... ," kata saya perlahan. Ia mungkin terkejut dengan sikap saya itu yang tak biasa dan langsung menjulurkan tangan kanannya secara reflek tanpa sadar tangannya bekas makanan. Akhirnya ia bengkokkan tangannya sedemikian rupa sehingga saya bisa menyambut punggung tangannya untuk bersalaman sambil kepalanya menunduk seperti ingin mencium tangan saya. "Sudah gak usah, makan aja. Cepet ya. Segera shalat setelah itu."
Saya pun segera masuk kamar dan shalat maghrib. Setelah selesai shalat saya merenung lagi.Â
"Minta maaf pada Fathan tadi ternyata melegakan. Meski saya merasa benar. Tapi, saya ada salah juga. Waktunya tidak tepat memang."
Tak lama setelah kejadian itu, dan setelah shalat maghrib, Fathan pamit mau kembali ke kost seperti rencana awal. "Tapi, aku mau mampir dulu di kedai kopi Kulo ya."
Kedai kopi itu memang tak jauh dari rumah kami. Hanya sekitar 300 meter. Kadang saya dan Fathan kongkow berdua saja di kedai kopi itu. Dan saat kongkow itu biasanya saya ajak dia untuk membahas apa pun. Tempatnya memang nyaman dan tidak terlalu besar serta tidak banyak pengunjung, sehingga enak untuk ngobrol. Seharusnya di tempat itu dan saat kongkow itulah saya bahas soal hidungnya itu. "He he ... dasar bapak-bapak ..." batinku.Â
Tiba-tiba ada bunyi notifikasi WA dari ponsel saya. Dari Fathan. "Yah, aku minta maaf juga ya tadi."
Yessss ... alhamdulillah ... dia ternyata minta maaf juga. It works! Berhasil. Saya memang ingin membiasakan selalu ada kata maaf di antara komunikasi kami. Dan tak perlu saat bersalah. Saat merasa benar pun tak ada salahnya. Dan ... biasanya memang yang terjadi saling maaf-memaafkan.Â
Coba bandingkan bila tidak ada kata maaf dari saya? Fathan mungkin masih dongkol. Dan dalam kondisi itu ia pamit kembali ke kost tentu akan membuat saya was-was.Â
Ini menjadi salah-satu pelajaran berharga bagi kami berdua di momen Ramadan lalu. Menjadi seorang ayah tak selamanya harus merasa benar. Nobody's perfect. Minta maaf bukan pula dosa kan? Tak ada ruginya juga. Allah pun Maha Pengampun toh ... kita ini apalah?Â