Meneladani akhlak Rasulullah SAW mungkinkah di era seperti saat ini? Era yang dikuasai oleh emosi sesaat yang hanya dari konten di sosmed. Era yang orang lebih percaya dan taat pada ulama tertentu daripada Rasulullah SAW. Era post-truth - kebenaran yang berasal dari sesuatu yang salah yang digaungkan terus-menerus. Bisa kah?
Jawaban atas pertanyaan itu sepatutnya bisa dijawab dengan mudah di Bulan Suci ini. Tapi, apa daya? Beberapa hari lalu kita dipertontonkan sebuah 'lakon' (untuk tidak menyebutkan sebuah tragedi) kemanusiaan di tengah ibadah suci yang sedang dijalankan. Ibadah yang seharusnya kita bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang amat jauh dari harapan Rasulullah SAW.Â
Akhlak Rasulullah SAW memang teramat mulia. Dalam sejarah, Aisyah r.a. pernah merasakan kehalusan budi pekertinya yang amat terkenal. Saat itu Nabi SAW baru pulang dari Perang Badar. Seperti biasa, Aisyah r.a. menyediakan air putih. Rasul pun segera meminumnya. Namun, saat Aisyah merasa heran. Biasanya, Rasul SAW selalu menyisakan sebagian air yang Rasul minum untuk Aisyah. Kali ini, Rasul seperti hendak menghabiskan. Aisyah pun mengutarakan keheranannya. Rasul SAW tak menjawab tapi menyisakan sedikit air untuk Aisyah. Saat diminum, ternyata rasanya asin. Nabi SAW ternyata sengaja ingin menghabiskan air itu supaya tidak diketahui oleh Aisyah bahwa ia telah salah memasukkan garam yang seharusnya gula.Â
Keagungan akhlak Rasul SAW menghalanginya untuk memarahi istri yang telah melakukan kesalahan. Dalam kondisi baru pulang dari perang besar (Perang Badar adalah salah-satu perang besar dalam sejarah Islam) pasti lelah sekali. Sangat normal bila Rasul marah. Kenyataannya, Muhammad SAW malah berusaha menyembunyikan kesalahan istrinya.Â
Tidak hanya kepada istri, terhadap tawanan perang pun ada teladan Nabi SAW yang layak untuk disimak dan ditiru. Dalam buku Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir, dikisahkan ada empat jenis hukuman untuk para tawanan perang zaman Rasul SAW. Dari yang paling berat - eksekusi mati (jarang sekali terlaksana - kecuali ada pelanggaran berat) denda, hingga pembebasan tanpa syarat apa pun. Yang paling menarik adalah hukuman bagi tawanan yang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Mereka 'dihukum' mengajarkan anak-anak kaum Anshar membaca dan menulis. Dalam kondisi perang, Rasul SAW masih memikirkan pendidikan untuk generasi penerus.Â
Sejarah lain mencatat betapa Rasul SAW menghormati sekali pemeluk agama di luar Islam. Pernah suatu kali Muhammad SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabat lalu terlihat dari kejauhan rombongan orang Yahudi sedang membawa jenazah kerabatnya untuk dimakamkan. Rasul SAW langsung berdiri dan mengajak para sahabat mengikutinya. Para sahabat sempat protes karena jenazah bukan pemeluk Islam. Lalu Nabi bertanya, "Apakah jenazah itu bukan manusia?"
Banyak teladan lain dari Nabi SAW yang mungkin kalau ditulis di sini tak akan cukup. Pertanyaannya kemudian, seperti kalimat awal artikel ini - apakah teladan itu masih relevan dengan kekinian? Saya tak ingin menjawabnya. Buku "The 100 : A Ranking of the Most Influential Persons in History" karya Michael H. Hart - seorang non-muslim, ahli fisika dan guru besar Astronomi di Amerika menempatkan Muhammad SAW di urutan pertama dari 100 orang paling berpengaruh sepanjang sejarah dunia.
Apa alasan Michael? Ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad menjadi orang nomor satu yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia karena Nabi Muhammad SAW adalah sosok paling sukses dalam level religi dan sekular. Ini alasan secara umum. Banyak literatur dan pengalaman Michael saat berbicara di publik menjawab berbagai pertanyaan di berbagai forum tentang alasannya menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan pertama.Â
Yang perlu diketahui juga, buku tersebut pertama kali dicetak pada 1978 kemudian dicetak ulang pada 1992. Sudah lama memang. Tapi, hingga kini belum ada lagi pemeringkatan serupa yang berpijak pada hasil penelitian  mendalam seperti yang dilakukan oleh Michael yang harus menunggu selama 28 tahun hingga ia berani menerbitkan buku itu.
So, apakah masih relevan? Seharusnya masih, bahkan harus! Karena sifat dan akhlak Rasul SAW tersebut bersifat universal dan berlaku time-less. Apalagi teladan Rasul SAW dalam menjalankan ibadah shaum di Ramadan ini yang hanya minum air putih dan makan tiga butir kurma. Bagaimana dengan kita? Hmm ... Saya yakin kebanyakan dari kita akan tersenyum kecut (nyengir kuda - istilah Betawi-nya).